Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Belajar dari Dunia: Jalan Panjang yang Tak Bisa Disingkat

16 Oktober 2025   21:13 Diperbarui: 16 Oktober 2025   21:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Belajar dari Dunia: Jalan Panjang yang Tak Bisa Disingkat

Indonesia sering kali terjebak dalam ilusi bahwa prestasi sepak bola bisa diraih lewat jalan pintas, ganti pelatih, naturalisasi pemain, atau beli kemenangan lewat dana besar. Padahal, negara-negara yang kini dihormati di panggung dunia justru membangun kejayaannya lewat kesabaran, sistem, dan investasi jangka panjang. Mereka tidak mencari pelatih ajaib. Mereka menciptakan fondasi yang tak goyah.

Ambil contoh Jepang. Pada 1990-an, Jepang hanyalah tim medioker di Asia. Tapi mereka punya mimpi besar: menjadi kekuatan sepak bola dunia. Alih-alih mengandalkan pemain impor, mereka memilih jalan yang lebih berat: mengirim ribuan anak muda ke sekolah-sekolah sepak bola di Eropa dan Amerika Selatan, terutama Brasil, negeri kelahiran Pele, Zico, Ronaldo, Ronaldinho, dan Neymar.

Mereka belajar filosofi, teknik, dan mentalitas juara langsung dari sumbernya. Hasilnya? Hari ini, Jepang bukan hanya langganan Piala Dunia, tapi mampu mengalahkan raksasa seperti Jerman dan Spanyol, bahkan dalam laga persahabatan beberapa hari lalu mereka mampu mengalahkan Brasil 2:3 seteleh tertinggal 2:0. Ini bukan keberuntungan. Ini buah dari 30 tahun konsistensi.

Lalu lihat Pantai Gading (Cte d'Ivoire). Negara kecil di Afrika Barat ini dulunya hanya dikenal sebagai penghasil kakao. Tapi mereka punya keunggulan: hubungan historis dengan Prancis dan Portugal, yang memungkinkan talenta muda mereka bermain di akademi Eropa sejak usia dini. Didier Drogba, Yaya Tour, dan kini Nicolas Pp, semua dibesarkan di sistem Eropa, tapi tetap memilih membela tanah kelahiran mereka.

Mereka tak malu belajar dari bekas penjajah, lalu suatu hari berdiri sejajar, bahkan mengalahkan mereka. Di Piala Dunia 2022, Pantai Gading sudah tidak lolos, tapi warisan mereka tetap hidup: generasi muda terus mengalir ke Eropa, siap meneruskan estafet.

Dan jangan lupakan Maroko. Tim yang dulu dianggap "tim penggembira" di Afrika, kini jadi satu-satunya wakil benua di semifinal Piala Dunia 2022. Rahasianya? 

Mereka membangun pusat pelatihan nasional berstandar FIFA, merekrut pelatih asing berpengalaman seperti Walid Regragui, tapi yang paling penting: mengintegrasikan diaspora Maroko di Eropa, pemain seperti Achraf Hakimi (PSG), Sofyan Amrabat (Man United), dan Yassine Bounou (Al-Hilal), dengan identitas nasional yang kuat. 

Mereka tak hanya bermain untuk Maroko; mereka percaya pada Maroko. Dan ketika menghadapi Spanyol di babak 16 besar, mereka menang bukan karena keberuntungan, tapi karena disiplin, taktik, dan kerja kolektif yang dibangun bertahun-tahun.

Lalu, di Mana Indonesia?

Indonesia punya populasi 270 juta, lebih besar dari Jepang (125 juta), Maroko (37 juta), atau Pantai Gading (28 juta). Kita punya potensi luar biasa: talenta alami, gairah suporter, dan sumber daya alam melimpah. Tapi kita tidak punya kesabaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun