Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

[renungan] Ketaatan, Kesetiaan, dan Syukur di Tengah Dunia yang Sibuk dan Mudah Lupa

12 Oktober 2025   08:15 Diperbarui: 12 Oktober 2025   07:36 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketaatan, Kesetiaan, dan Syukur di Tengah Dunia yang Sibuk dan Mudah Lupa

Di tengah dunia yang berlari kencang, dengan notifikasi yang tak henti, tuntutan kerja yang tak berujung, dan kehidupan digital yang membuat kita terus "terhubung" namun justru semakin terasing, kita mudah lupa. Lupa bersyukur. Lupa kembali. Bahkan lupa bahwa setiap napas, kesembuhan, keberhasilan, atau kedamaian yang kita alami adalah anugerah, bukan hak.

Tiga bacaan hari ini, penyembuhan Naaman (2Raj 5:14-17), pengakuan iman Paulus dalam penderitaan (2Tim 2:8-13), dan kisah sepuluh orang kusta yang hanya satu kembali bersyukur (Luk 17:11-19), menyentuh tiga dimensi rohani yang sangat relevan bagi kita hari ini: ketaatan yang rendah hati, kesetiaan yang tak goyah, dan syukur yang aktif.

Ketaatan yang Melawan Arus (2Raj 5:14-17)

Naaman adalah figur "sukses": jenderal terhormat, berpengaruh, dan berwibawa. Namun ia datang dengan luka tak terlihat: kusta, simbol keterasingan dan ketidaksempurnaan. Ia mengharapkan mukjizat spektakuler, tapi Tuhan justru meminta hal yang sederhana: mandi di sungai yang dianggap biasa.

Di zaman ini, kita sering mencari Tuhan dengan syarat-syarat kita sendiri: "Tuhan, kalau Kau sembuhkan aku, aku akan rajin ke gereja." "Tuhan, kalau Kau beri aku pekerjaan baru, aku akan lebih baik."

Tapi Tuhan sering bekerja justru melalui hal-hal kecil yang kita anggap remeh: sabar dalam antrean, jujur saat tak ada yang melihat, tetap berdoa meski tak ada jawaban instan.

Ketaatan sejati bukan soal dramatisasi iman, tapi kerelaan menuruti jalan Tuhan, meski terasa "biasa", bahkan "kalah gengsi". Naaman disembuhkan bukan karena kehebatannya, tapi karena ia mau merendahkan diri. Di dunia yang memuja pencapaian dan citra diri, Tuhan masih mencari hati yang mau taat dalam kerendahan.

Kesetiaan di Tengah Ketidakpastian (2Tim 2:8-13)

Paulus menulis surat ini dari penjara, dalam penderitaan, kesepian, dan ancaman kematian. Namun ia tidak kehilangan fokus: "Ingatlah Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati."

Kita hidup di masa penuh ketidakpastian: krisis ekonomi, konflik global, perubahan iklim, kecemasan eksistensial. Banyak orang kehilangan pegangan. Tapi Paulus mengingatkan: Firman Allah tidak terbelenggu, dan Kristus tetap setia bahkan ketika kita goyah.


Janji Paulus bukan sekadar teologi, tapi jangkar hidup: Jika kita setia, kita akan memerintah bersama Kristus. Jika kita tidak setia, Dia tetap setia, karena Ia tidak bisa menyangkal diri-Nya sendiri.

Ini adalah kabar baik bagi kita yang sering gagal: Tuhan tidak menarik kasih-Nya hanya karena kita lemah. Di tengah dunia yang menuntut performa sempurna, kasih setia Kristus adalah tempat kita beristirahat.

Syukur yang Aktif, Bukan Sekadar Emosi (Luk 17:11-19)

Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta, semua taat, semua sembuh. Tapi hanya satu yang kembali: seorang Samaria, "orang asing" yang justru paling mengerti arti anugerah.

Di zaman media sosial, kita cepat membagikan "testimoni" saat menerima berkat, tapi jarang kembali secara pribadi untuk bersyukur kepada Tuhan. Kita sibuk menggunakan berkat, tapi lupa menghargai Sang Pemberi.

Yesus bertanya: "Di manakah yang sembilan orang itu?"
Pertanyaan itu masih bergema hari ini: Di manakah kita saat Tuhan memberi kesehatan, keluarga, pekerjaan, atau damai sejahtera? Apakah kita langsung melanjutkan hidup seperti biasa atau kita berhenti, kembali, dan berkata: "Terima kasih, Tuhan"?

Ucapan syukur bukan sekadar ucapan di mulut, tapi gerakan hati yang membawa kita kembali ke kaki Yesus. Dan justru di situlah, Yesus berkata: "Imanmu telah menyelamatkan engkau." Kesembuhan fisik adalah berkat; keselamatan adalah hubungan yang dipulihkan dan itu dimulai dari syukur.

Menjadi "Yang Satu" di Tengah Sembilan yang Lupa

Dunia hari ini penuh dengan "sembilan orang kusta", kita yang menerima berkat, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Tapi Tuhan rindu kita menjadi "yang satu": yang mau taat meski terasa tidak masuk akal, yang tetap percaya meski hidup tidak pasti, dan yang sengaja kembali untuk bersyukur bukan karena wajib, tapi karena cinta.

Mari kita jadikan syukur bukan hanya respons emosional, tapi gaya hidup. Setiap hari, dalam hal kecil: ucapkan terima kasih atas secangkir kopi pagi, akui bahwa kekuatan kita hari ini berasal dari-Nya, dan luangkan waktu (meski hanya lima menit) untuk duduk diam di hadirat-Nya dan berkata: "Terima kasih, Tuhan. Aku kembali."

Sebab di tengah dunia yang cepat lupa, syukur adalah bentuk perlawanan rohani yang paling radikal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun