Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta, semua taat, semua sembuh. Tapi hanya satu yang kembali: seorang Samaria, "orang asing" yang justru paling mengerti arti anugerah.
Di zaman media sosial, kita cepat membagikan "testimoni" saat menerima berkat, tapi jarang kembali secara pribadi untuk bersyukur kepada Tuhan. Kita sibuk menggunakan berkat, tapi lupa menghargai Sang Pemberi.
Yesus bertanya: "Di manakah yang sembilan orang itu?"
Pertanyaan itu masih bergema hari ini: Di manakah kita saat Tuhan memberi kesehatan, keluarga, pekerjaan, atau damai sejahtera? Apakah kita langsung melanjutkan hidup seperti biasa atau kita berhenti, kembali, dan berkata: "Terima kasih, Tuhan"?
Ucapan syukur bukan sekadar ucapan di mulut, tapi gerakan hati yang membawa kita kembali ke kaki Yesus. Dan justru di situlah, Yesus berkata: "Imanmu telah menyelamatkan engkau." Kesembuhan fisik adalah berkat; keselamatan adalah hubungan yang dipulihkan dan itu dimulai dari syukur.
Menjadi "Yang Satu" di Tengah Sembilan yang Lupa
Dunia hari ini penuh dengan "sembilan orang kusta", kita yang menerima berkat, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Tapi Tuhan rindu kita menjadi "yang satu": yang mau taat meski terasa tidak masuk akal, yang tetap percaya meski hidup tidak pasti, dan yang sengaja kembali untuk bersyukur bukan karena wajib, tapi karena cinta.
Mari kita jadikan syukur bukan hanya respons emosional, tapi gaya hidup. Setiap hari, dalam hal kecil: ucapkan terima kasih atas secangkir kopi pagi, akui bahwa kekuatan kita hari ini berasal dari-Nya, dan luangkan waktu (meski hanya lima menit) untuk duduk diam di hadirat-Nya dan berkata: "Terima kasih, Tuhan. Aku kembali."
Sebab di tengah dunia yang cepat lupa, syukur adalah bentuk perlawanan rohani yang paling radikal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI