Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Secangkir Kopi Pagi, Sepoci Teh Senja, dan Kearifan yang Terjaga di Beranda Rumah

11 Oktober 2025   07:18 Diperbarui: 11 Oktober 2025   07:27 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Secangkir Kopi Pagi, Sepoci Teh Senja, dan Kearifan yang Terjaga Di Beranda Rumah

[Sebuah kenangan: saya punya ritual menikmati kopi flores (dari mana pun asalanya) baik dalam kemasan modern dengan proses sangrai pakai mesin atau kopi tumbuk tradisional. Minum kopi pahit tanpa gula sebagai penyemangat hari, vitamin yang membangkitkan memori tentang aroma bunga kopi yang wangi, atau kopi merah yang enak dimakan saat panen, atau memori tentang kami anak-anak zaman 1980-an yang suka bermain di bawah rindangnya kebun kopi, atau kami yang nakal melompat dari pohon ke pohon untuk belajar "melompat" seperti monyet. Kenangan semacam ini tak mungkin terjadi di era digital ini. Jika persediaan kopi flores habis, ritualnya berhenti sampai ada lagi stok kopi di dapur. Jika kepingin beli kopi hitam lampung. Di luar merk itu saya tidak tertarik. Ini hanya soal selera]

Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang tak henti menuntut kita untuk terus berlari, ada sebuah ruang sederhana yang sering terlupa, beranda rumah. Ia bukan sekadar pelengkap arsitektur, melainkan panggung hening tempat ritual-ritual kecil kehidupan dipentaskan. Di sinilah, di ambang antara dunia dalam dan luar, dua minuman menemani kita memaknai hari: secangkir kopi di pagi hari dan sepoci teh di kala senja. Keduanya, tanpa kita sadari, menyimpan kearifan lokal yang mendalam.

Kopi Pagi: Pahitnya Perjuangan, Hangatnya Semangat

Pagi di beranda biasanya diawali dengan aroma kopi yang pekat menusuk, tajam, dan membangunkan. Kopi bukan minuman yang ramah pada tegukan pertama. Ia pahit, kuat, dan jujur. Seperti kehidupan itu sendiri.

Secangkir kopi mengajarkan kita untuk menghadapi realitas tanpa ilusi. Rasa pahitnya adalah metafora dari tantangan, kerja keras, dan keringat yang harus kita hadapi setiap hari. Ia tak meninabobokan, justru membangunkan jiwa dan memaksa mata terbuka lebar untuk melihat dunia apa adanya. Bahkan proses pembuatannya (dari biji yang digoreng, digiling, lalu diseduh dengan cermat) adalah simbol usaha tekun yang menghasilkan sesuatu bernilai.

Di beranda, menyeruput kopi sambil menyaksikan fajar merekah adalah bentuk kearifan lokal untuk memulai hari dengan kesadaran dan semangat. Ini adalah semangat para petani yang turun ke sawah sebelum matahari naik, semangat pengrajin yang memulai karyanya dengan doa dan ketekunan. Kopi adalah teman setia dalam menyusun tekad, merancang strategi, dan mengumpulkan energi untuk "bertarung" di medan kehidupan. Ia adalah simbol greget, semangat makaryo, etos kerja yang diwariskan leluhur.

Teh Senja: Ketenangan, Penerimaan, dan Seni Merenung

Ketika matahari mulai condong ke barat dan langit berubah jingga keemasan, giliran teh yang mengambil alih panggung di beranda. Berbeda dengan kopi yang meledak-ledak, teh datang dengan kelembutan dan kehangatan yang merengkuh.

Filosofi teh adalah tentang kesabaran, penerimaan, dan kontemplasi. Menyeduh teh (terutama teh tubruk tradisional) adalah ritual meditatif. Kita menunggu daun-daun teh mengendap perlahan, melepaskan sarinya ke dalam air panas tanpa tergesa-gesa. Aromanya yang lembut seolah mengajak kita menarik napas panjang, melepaskan beban yang menumpuk sepanjang hari.

Menikmati teh di sore hari adalah cerminan kearifan lokal tentang pentingnya jeda dan rasa syukur. Inilah momen eling lan waspada (sadar dan mawas diri) untuk merenungkan hari yang telah berlalu, menerima hasilnya dengan lapang dada, dan bersyukur atas segala nikmat. Kearifan nrimo ing pandum (menerima takdir dengan ikhlas) terasa nyata dalam kehangatan secangkir teh. Ia mengingatkan bahwa setelah berjuang keras, ada waktunya untuk berdamai dengan hasil, menenangkan hati, dan menemukan kedamaian dalam kesederhanaan.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Teras Rumah: Panggung Keseimbangan dan Kearifan Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun