Teras rumah adalah tempat di mana dua filosofi ini bertemu dan menciptakan harmoni. Ia menjadi ruang transisi: tempat kita mempersiapkan diri di pagi hari dan memulihkan jiwa di senja. Namun lebih dari itu, teras adalah manifestasi fisik dari kearifan sosial Indonesia.
Di sinilah kita menyapa tetangga yang lewat, berbagi senyum, atau sekadar berbasa-basi. Teras adalah simbol keterbukaan dan gotong royong. Ia mengingatkan bahwa seindividual apa pun kita di dalam rumah, kita tetap bagian dari komunitas. Duduk di teras adalah cara kita terhubung dengan lingkungan, menjaga semangat guyub (kerukunan) dan tepo seliro (tenggang rasa).
Ketika tamu datang, teras sering menjadi tempat pertama kita menyambutnya. Segelas kopi atau teh yang ditawarkan bukan sekadar minuman, melainkan simbol keramahan, penerimaan, dan kearifan memuliakan tamu yang telah mendarah daging dalam budaya kita.
Pesan di Dasar Cangkir
Pada akhirnya, di beranda rumah kita belajar tentang keseimbangan hidup yang utuh. Hidup membutuhkan energi, keberanian, dan semangat juang, seperti secangkir kopi di pagi hari. Namun, hidup juga memerlukan ketenangan, kesabaran, dan kemampuan menerima dengan syukur, seperti sepoci teh di senja.
Kearifan lokal tak selalu tersimpan dalam kitab kuno atau wejangan rumit. Ia sering terlarut dalam ritual sehari-hari yang kita jalani tanpa sadar. Maka, sesekali marilah kita duduk di teras rumah kita. Hirup aroma kopi pagimu, dan rasakan semangat untuk berkarya. Nikmati kehangatan teh senjamu, dan temukan kedamaian dalam dirimu.
Sebab di sanalah, di antara pahitnya kopi dan hangatnya teh, di panggung kecil bernama teras rumah, kita menemukan kebijaksanaan terbesar: bagaimana menjadi manusia seutuhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI