Teh: Cermin Kearifan, Jejak Waktu, dan Harapan Masa Depan
Teh bukan sekadar minuman. Ia adalah narasi yang diseduh perlahan, narasi tentang tanah, tangan, dan waktu. Di balik uap yang mengepul dari cangkir, tersimpan butiran keringat petani yang memetik daun sejak fajar, kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun, dan rasa persaudaraan yang tumbuh dalam kebersamaan sederhana: duduk melingkar, berbagi cerita, sambil menyesap hangatnya kebersamaan.
Setiap daun teh yang kita seduh adalah jejak perjalanan panjang. Dari lereng Gunung Malabar yang berkabut, perbukitan Menoreh yang sunyi, dataran tinggi Toraja yang megah, hingga lembah Ruteng di Flores yang dikelilingi sawah berundak, di sanalah alam dan manusia berdialog. Petani teh tak hanya menanam, mereka merawat harmoni. Mereka tahu kapan hujan akan turun, kapan daun paling segar dipetik, dan bagaimana mengolahnya tanpa mengkhianati kodrat alam. Itu bukan sekadar keterampilan; itu kearifan. Kearifan yang mengajarkan kita untuk hidup selaras, bukan menaklukkan.
Dan dalam secangkir teh, ada cinta yang tak terucap. Cinta yang hadir saat seorang ibu menyuguhkan teh hangat untuk anaknya yang pulang larut, saat tetangga saling mengirimkan teh buatan sendiri sebagai tanda peduli, atau saat tamu disambut bukan dengan kemewahan, tapi dengan ketulusan: "Silakan, minum dulu." Di sanalah teh menjadi jembatan, bukan hanya antara rasa, tapi antara hati.
Namun, teh juga menyampaikan pesan futuris. Di tengah krisis iklim, industrialisasi pangan, dan homogenisasi rasa global, teh lokal justru menjadi bentuk perlawanan halus. Ia mengingatkan kita pada pentingnya keberagaman hayati, ketahanan pangan berbasis lokal, dan ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Setiap teguk teh asli Nusantara adalah suara kecil yang berkata: "Jangan biarkan kekayaan ini punah." Ia mengajak kita berpikir jangka panjang, tentang keberlanjutan, kedaulatan pangan, dan identitas budaya yang tak boleh dikalahkan oleh tren sesaat.
Aroma teh yang menyeruak dari cangkir bukan hanya wewangian daun yang teroksidasi. Itu adalah aroma masa depan yang sedang dibentuk, oleh tangan-tangan yang masih percaya pada tanah, oleh lidah-lidah yang masih menghargai rasa asli, dan oleh hati-hati yang masih memilih untuk merawat, bukan hanya mengonsumsi.
Maka, saat kita menyesap teh hari ini, mari lakukan lebih dari sekadar minum. Mari dengarkan ceritanya. Hormati jerih payah di baliknya. Dan jadikan setiap cangkir sebagai komitmen: untuk menjaga warisan, mendukung petani, serta melestarikan kearifan yang membuat kita tetap utuh sebagai bangsa.
Karena teh (dalam kesederhanaannya) adalah cermin peradaban. Dan di dalamnya, kita menemukan bukan hanya rasa, tapi juga arah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI