Menjadi Bapak Rumah Tangga: Bukan Mundur, Tapi Melangkah dengan Cinta
Pernahkah Anda membayangkan seorang ayah (dulu dikenal sebagai "tulang punggung keluarga") kini mengenakan celemek, menyetrika baju anak, menyiapkan bekal sekolah, dan menemani si kecil belajar membaca? Di tengah masyarakat yang masih kental dengan norma patriarki, keputusan seorang pria untuk menjadi bapak rumah tangga (BRD) sering kali dianggap sebagai "mundur selangkah", bahkan "kehilangan harga diri". Padahal, di balik celemek itu, ada keberanian luar biasa, cinta yang tak terucap, dan tanggung jawab yang tak kalah berat dari pekerjaan kantoran.
Ketika Identitas Laki-Laki Dikurung dalam Kotak "Pencari Nafkah"
Selama puluhan tahun, masyarakat kita membangun narasi tunggal tentang laki-laki: ia harus bekerja, menghasilkan uang, dan menjadi pemimpin keluarga. Karier bukan sekadar profesi, ia adalah simbol harga diri, kejantanan, bahkan keberhasilan hidup. Maka, ketika seorang pria memilih resign dan fokus mengurus rumah tangga, ia sering dihadapkan pada tatapan heran, komentar miring, bahkan cibiran:
"Kok nggak kerja? Malu dong, hidup dari istri."
"Laki-laki kok di rumah terus, kayak perempuan aja."Â
Tekanan ini tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam diri sendiri. Banyak BRD mengakui merasa "kehilangan arah" di awal. Mereka kehilangan rutinitas kantor, interaksi sosial dengan rekan kerja, dan (yang paling menyakitkan) rasa dihargai secara sosial.
Di China, fenomena ini sempat viral, tapi tetap diiringi stigma: pria yang menjadi BRD dianggap "gagal" dalam dunia kerja. Di Indonesia, situasinya tak jauh berbeda. Seorang teman pernah bercerita, ibunya menangis saat tahu ia memutuskan berhenti kerja untuk mengasuh anak karena istri sedang mengejar karier penting.
Menemukan Makna Baru dalam Peran yang Tak Terlihat
Namun, di balik tekanan itu, banyak BRD justru menemukan sesuatu yang tak pernah mereka duga: kedamaian, kedekatan emosional dengan keluarga, dan makna hidup yang lebih dalam. Mereka mulai menyadari bahwa "bekerja" tidak selalu berarti berada di kantor. Mengasuh anak, mengelola keuangan rumah tangga, memastikan makanan bergizi tersedia setiap hari, itu semua adalah bentuk kerja nyata yang tak terukur dengan gaji.
Salah satu BRD yang tinggal di daerah perkotaan, misalnya, membagikan pengalamannya: "Awalnya saya merasa minder. Tapi lama-lama, saya sadar: saya sedang membangun fondasi keluarga. Anak saya tumbuh dengan ayah yang hadir setiap hari. Itu tak ternilai harganya." Ia bahkan membuat jadwal harian yang rapi (seperti saat ia masih jadi manajer) untuk memastikan semua tugas rumah berjalan lancar.
Di sisi lain, pasangan BRD juga mulai mengalami perubahan positif. Istri yang dulu terjepit antara karier dan rumah kini bisa fokus pada pekerjaannya tanpa rasa bersalah. Hubungan suami-istri pun menjadi lebih setara, saling mendukung, dan penuh empati. Mereka tak lagi hidup dalam skenario "ayah bekerja, ibu mengurus rumah", tapi dalam kemitraan yang saling menguatkan.
Membangun Ekosistem yang Mendukung Peran Baru Ayah
Agar keputusan menjadi BRD tidak lagi dianggap "aneh" atau "malu-maluin", kita butuh perubahan sistemik, bukan hanya pada individu, tapi juga pada masyarakat dan kebijakan.