Dulu, kita tak punya ponsel pintar seperti sekarang. Tak ada WhatsApp untuk curhat, tak ada kamera untuk selfie dan unggahan instan. Surat yang kita kirim ke Indonesia harus menunggu dua, tiga bulan untuk sampai dan dibalas.
Dunia berjalan lambat, tapi justru di kelambanan itu kita menemukan kepekaan. Kita belajar mencintai kesunyian, merangkul rasa asing, dan menyesuaikan diri sedikit demi sedikit dengan tempat baru. Tanpa distraksi digital, kita menjadi lebih tekun, lebih hadir, lebih jujur pada diri sendiri dan pada Tuhan.
Kris, kini kau telah terlelap dalam pelukan Ibu Pertiwi, dan aku percaya, dalam pelukan Bunda Maria. Empat minggu berlalu, tapi kenangan tentangmu tak pernah pudar. Aku masih bisa mendengar tawamu, melihat matamu yang berbinar saat kita berbagi cerita, atau merasakan kehadiranmu yang tenang di sampingku.
Jarak kini memisahkan kita, kau di dunia roh, aku masih di sini, berjuang dengan rindu yang tak terucap. Tapi aku percaya pada Spes Non Confudit, harapan tidak pernah mengecewakan. Doaku mengalir untukmu, dan aku tahu kau pun mendoakanku dari sana. Kau juga pasti menjaga istrimu dan anakmu dalam diam, dalam kehadiran yang tak lagi kasat mata. Mereka masih membutuhkanmu, Kris, meski dalam bentuk yang berbeda.
Kita mungkin terpisah oleh dunia, tapi cinta dan kenangan menjembatani kita. Aku membayangkan suatu hari nanti, kita akan bertemu kembali, tertawa seperti dulu, mengenang coretan di dinding parkir atau troli belanjaan Romo Romain. Sampai saat itu tiba, aku akan terus membawa ceritamu dalam hatiku, sahabatku. Doakan kami di sini, dan aku akan terus mendoakanmu, dengan harapan yang tak pernah mengecewakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI