Pak Juki langsung protes:
"Hei! Gue cuci tangan tiap kali ganti channel TV, atau habis bolak balik tempe goreng untuk pelangganku, lho!"
Kopi Bubuk mengangkat alis (kalau dia punya).
"Hygienis? Kamu aja mengandung sodium siklamat sama krim bubuk nabati yang entah dari planet mana. Aku? Cuma kopi. Titik. Kalau mau sedikit pedes, campurin jahe yang diiris tipis-tipis saat aku digoreng manual ala mama-mama di Kampung Nunukae. Kalau mau gula, tambah sendiri. Kalau mau susu, ambil dari sapi, bukan dari pabrik kimia!"
Tiba-tiba, seorang ibu paruh baya nyeletuk dari meja belakang:
"Ya udah, gimana kalau kalian kolaborasi? Misalnya... kopi bubuk asli dikemas dalam sachet biodegradable, tanpa gula, tanpa perisa, cuma kopi murni. Jadi praktis dan orisinal!"
Hening sejenak.
Kopi Sachet dan Kopi Bubuk saling pandang. Lalu...
Kopi Sachet:Â "Hmm... jadi gue jadi sachet tapi nggak norak?"
Kopi Bubuk:Â "Dan aku jadi orisinal tapi nggak ribet?"
Keduanya bersalaman (dengan cara mereka masing-masing).
Pak Juki langsung teriak ke dapur:
"Mas! Bikin konsep baru: 'Kopi Sachet Lokal', isi bubuk kopi asli Nagekeo, tanpa gula, tanpa sampah plastik berlebihan! Labelnya tulis: 'Praktis, tapi tetap jagoan!'"
Pelanggan-pelanggan langsung tepuk tangan. Bahkan semut di lantai ikut berjoget.
Dan sejak hari itu, di warung Pak Juki, tak ada lagi perang antara praktis dan orisinal. Yang ada hanyalah secangkir kopi yang enak, dengan label Kopi Sachet Lokal yang jujur, lezat, dan bikin hati adem.