Emas Naik, Mimpi Juga Harus Naik: Bagaimana Pegadaian Bisa Ubah Inflasi Jadi Investasi Masa Depan
Hari ini, 29 September 2025, harga emas kembali mencatatkan rekor. Di seluruh Indonesia, layar ponsel berkedip dengan angka-angka yang membuat hati berdebar: Antam menyentuh Rp2,297 juta per gram, UBS di Pegadaian menguat ke Rp2,228 juta, dan Galeri24 naik ke Rp2,187 juta per gram. Angka-angka ini bukan sekadar data pasar. Bagi banyak orang, ia membawa dua rasa sekaligus: kegembiraan bagi yang sudah punya tabungan emas, dan kecemasan bagi yang belum bisa membelinya.
Di tengah inflasi yang terus merayap dan biaya hidup yang melambung, menabung emas terasa semakin sulit. Tapi justru di sinilah Pegadaian harus berperan lebih dari sekadar tempat beli atau gadai emas. Ia harus menjadi jembatan emas, bukan hanya antara niat dan aset, tapi antara kesulitan hari ini dan masa depan yang gemilang.
Masalah: Ketika Harga Emas Naik, Akses Pendidikan Semakin Jauh
Kenaikan harga emas adalah kabar baik bagi investor. Tapi bagi keluarga miskin, mahasiswa, atau pekerja harian, ini bisa menjadi beban baru. Tabungan yang sebelumnya cukup untuk satu semester kuliah, kini mungkin hanya cukup untuk uang pangkal. Biaya nikah, modal usaha, atau dana darurat tiba-tiba terasa lebih berat.
Dan ironisnya, sementara nilai emas terus naik, nilai pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu justru terancam turun. Karena saat harga emas mencetak rekor, prioritas keluarga sering kali beralih dari "biaya kuliah" ke "biaya hidup". Mimpi kuliah pun dikubur, digantikan oleh realitas: "kerja dulu saja".
Ini adalah lingkaran setan yang tak boleh dibiarkan berputar. Kita tidak bisa hanya pasrah melihat generasi muda gagal mengejar mimpi karena gejolak ekonomi. Kita butuh solusi yang mengubah tantangan menjadi peluang.
Penyelesaian Sederhana: Dari Bumbung Bambu ke Beasiswa Emas
Di Solo, ada seorang pensiunan bernama Sriyadi (72) yang menginspirasi kita semua. Sejak tahun 1990-an, ia konsisten menabung 1 gram emas per bulan, bukan di bank, bukan di aplikasi, tapi di bumbung bambu di rumahnya. Tanpa tahu apa itu fintech atau digitalisasi, Sriyadi mempraktikkan prinsip investasi jangka panjang dengan kesabaran luar biasa.
Hasilnya? Saat pensiun di 2010, ia memiliki hampir setengah kilogram emas. Cukup untuk membeli rumah, menyekolahkan tiga anaknya hingga perguruan tinggi, bahkan membangun indekos yang menjadi sumber penghasilan tambahan.
Kisah Sriyadi adalah bukti: menabung emas, meski sedikit, bisa mengubah hidup. Tapi ia juga menunjukkan keterbatasan zaman dulu: tidak ada sistem yang mendukung, tidak ada akses mudah, dan semua dilakukan secara manual.
Kini, Pegadaian bisa mengambil tongkat estafet dari Sriyadi. Bukan hanya meneruskan budaya menabung emas, tapi mengembangkannya menjadi gerakan nasional yang progresif dan inklusif.
Meniru teladan Sriyadi sangat penting karena menunjukkan bahwa kebiasaan menabung dan mengelola keuangan secara disiplin dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus bergantung pada teknologi canggih atau akses ke sistem keuangan modern.