Tanpa membaca, kebijakan publik menjadi mekanis, teknokratis, dan sering kali dehumanisasi, seperti program bantuan sosial yang menghitung angka kemiskinan, tapi buta terhadap martabat manusia di balik angka itu.
Membaca sebagai Bentuk Kerendahan Hati Intelektual (Intellectual Humility)
Di era di mana pejabat lebih sibuk memamerkan mobil mewah atau kunjungan ke luar negeri daripada memamerkan rak buku, membaca menjadi bentuk perlawanan terhadap narsisisme kekuasaan.
Filsuf kontemporer seperti Miranda Fricker dalam Epistemic Injustice menunjukkan bahwa kegagalan untuk mendengarkan (atau dalam konteks ini, gagal membaca) adalah bentuk kekerasan epistemik. Ketika seorang pejabat menyita buku kiri tanpa pernah membacanya, ia tidak hanya melanggar hak kebebasan berpendapat, tapi juga menghina martabat intelektual rakyatnya. Ia menyiratkan: "Aku tidak perlu memahami argumenmu. Cukup aku punya kekuasaan untuk membungkammu."
Padahal, dalam tradisi republikanisme klasik (dari Cicero hingga Arendt), kekuasaan yang sah lahir dari dialog rasional, bukan dari monopoli kekuatan. Membaca adalah bentuk kerendahan hati: pengakuan bahwa pengetahuan tidak dimiliki oleh satu pihak, dan bahwa kebijakan yang baik lahir dari pertemuan berbagai perspektif termasuk yang kritis, radikal, atau tidak populer.
Membaca untuk Menghindari "Kebodohan yang Berkuasa"
Ada perbedaan mendasar antara ketidaktahuan dan kebodohan. Ketidaktahuan adalah kondisi di mana seseorang tidak mengetahui sesuatu karena kurangnya informasi atau pengalaman. Perbedaan utama antara ketidaktahuan dan kebodohan terletak pada peluang untuk memperbaikinya. Ketidaktahuan dapat diatasi melalui proses belajar dan pencarian pengetahuan. Dengan belajar, seseorang dapat memperoleh pengetahuan baru, memperluas wawasan, dan akhirnya mengatasi ketidaktahuan tersebut. Oleh karena itu, ketidaktahuan bukanlah kondisi yang permanen, melainkan sesuatu yang dapat diubah dengan usaha dan pengetahuan.
Sementara itu, kebodohan memiliki makna yang lebih dalam dan seringkali berkaitan dengan sikap penolakan untuk belajar atau mengakui kekurangan pengetahuan. Kebodohan tidak hanya berkaitan dengan kekurangan informasi, tetapi juga melibatkan sikap menutup diri terhadap kemungkinan belajar dan berkembang. Khususnya ketika seseorang memiliki kekuasaan, kebodohan dapat menjadi penghalang besar terhadap kemajuan. Penolakan untuk belajar ini seringkali didasari oleh rasa percaya diri yang berlebihan, ketakutan, atau sikap arogan, sehingga menjadikan kebodohan sebagai bentuk penolakan yang lebih kompleks dan sulit diatasi.
Filsuf Yunani kuno, Plato, dalam The Republic, memperingatkan bahaya "pilot kapal yang buta", metafora untuk pemimpin yang tidak memahami seni memerintah, tapi tetap mengambil alih kemudi. Dalam alegori gua, Plato menggambarkan bagaimana mereka yang terbiasa dengan bayangan (opini, prasangka, propaganda) akan menolak cahaya kebenaran (pengetahuan, refleksi, buku).
Ketika pejabat tidak membaca, mereka cenderung terjebak dalam "gua mereka sendiri," sebuah kondisi di mana mereka tidak memperoleh pengetahuan dan wawasan yang luas. Mereka percaya bahwa rakyatnya adalah orang yang bodoh dan membutuhkan arahan langsung dari atas, sehingga mereka tidak mau mendengarkan pendapat atau aspirasi masyarakat. Sikap ini menunjukkan bahwa pejabat tersebut menganggap diri mereka sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan tidak menghargai keberagaman pandangan, yang selanjutnya memperkuat jarak antara pemimpin dan rakyatnya.
Selain itu, pejabat yang tidak mau membaca dan belajar sering menganggap kritik sebagai ancaman atau pengkhianatan. Mereka merasa bahwa masukan dari orang lain bisa merusak citra atau kekuasaan mereka, sehingga mereka menanggapinya dengan sikap defensif. Kritikan dianggap sebagai bentuk pemberontakan terhadap otoritas mereka, padahal sebenarnya kritik adalah bentuk komunikasi yang konstruktif dan penting untuk perbaikan. Sikap ini menutup peluang untuk berkembang dan memperbaiki kekurangan, karena mereka tidak mau menerima pandangan yang berbeda atau kritik yang membangun.
Lebih jauh lagi, ketakutan pejabat terhadap ide-ide baru menyebabkan mereka menyita buku dan melarang pemikiran yang berbeda. Mereka takut terhadap gagasan yang dapat mengancam kekuasaan atau menantang keyakinan mereka sendiri. Ketidakmauan memahami bahkan sekadar membaca dan memahami ide-ide tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak ingin terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Mereka lebih memilih menghalangi dan menyingkirkan ide-ide baru daripada memanfaatkannya untuk kemajuan, karena ketakutan akan kehilangan kendali dan kekuasaan. Dengan sikap ini, mereka menghambat perkembangan diri sendiri dan masyarakat secara keseluruhan.
Inilah yang disebut oleh Hannah Arendt sebagai "banalitas kejahatan": kejahatan yang lahir bukan dari niat jahat, tapi dari keengganan untuk berpikir. Dan berpikir (dalam arti filosofis) adalah proses yang dimulai dengan membaca.