Tentu saja, setiap aksi harus diikuti oleh refleksi. Inilah esensi dari learning by process: menghargai perjalanan, bukan hanya tujuan. Dalam pendekatan ini, fokus beralih dari "apa yang kamu hasilkan?" ke "bagaimana kamu sampai di sana?".
Guru memberikan umpan balik yang membangun, bukan sekadar nilai. Orang tua diajak untuk memahami bahwa perkembangan anak tidak selalu linier, ada saat maju, ada saat stagnan, bahkan mundur sementara, dan semuanya wajar dalam proses belajar. Siswa pun belajar merefleksikan langkah mereka: apa yang berhasil, apa yang perlu diperbaiki, dan bagaimana strategi berikutnya.
Proses ini memperkuat learning mindset sekaligus mempersiapkan jalan menuju pembelajaran yang lebih mendalam.
Deep Learning: Puncak Pembelajaran yang Holistik dan Berdampak
Dan puncak dari semua ini adalah deep learning, bentuk pembelajaran tertinggi yang tidak hanya mengingat atau memahami, tetapi mampu menghubungkan ide lintas disiplin, menerapkan pengetahuan dalam konteks baru, berpikir kritis, berempati, dan bertindak dengan integritas.
Deep learning terjadi ketika seorang siswa tidak hanya belajar tentang perubahan iklim di buku teks, tetapi merancang kampanye lingkungan di sekolahnya, melibatkan orang tua dalam pengurangan sampah rumah tangga, dan berdiskusi dengan pemerintah daerah tentang kebijakan hijau. Ini adalah pembelajaran yang menyentuh pikiran, hati, dan tindakan sekaligus.
Di antara kelima pendekatan tersebut, deep learning memang menempati tingkat tertinggi karena mencerminkan penguasaan pengetahuan yang holistik, berdampak, dan berkelanjutan. Namun, deep learning tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil matang dari integrasi utuh antara learning mindset yang membuka pintu, learning by design yang merancang jalannya, learning by doing yang menggerakkan tubuh dan pikiran, serta learning by process yang memastikan setiap langkah bermakna.
Membangun Budaya Belajar yang Hidup dan Berkelanjutan
Semua ini hanya mungkin terwujud dalam iklim kolaborasi yang tulus. Sekolah tidak boleh menjadi benteng tertutup; orang tua tidak boleh hanya menjadi penonton pasif; dan siswa tidak boleh hanya menjadi penerima pasif ilmu. Pendidikan bermutu lahir ketika ketiganya berjalan beriringan, sekolah sebagai pusat inovasi pedagogis, orang tua sebagai mitra emosional dan intelektual, dan siswa sebagai agen aktif dalam perjalanan belajarnya sendiri.
Dengan demikian, mewujudkan pendidikan bermutu bukan soal menambah jam pelajaran atau memperbanyak ujian, melainkan soal membangun budaya belajar yang hidup, kolaboratif, dan berkelanjutan, di mana setiap pihak percaya bahwa belajar adalah hak, tanggung jawab, dan kebahagiaan bersama. Di sanalah, pendidikan tidak hanya mengajar, tetapi mengubah; tidak hanya mengisi kepala, tetapi menyentuh jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI