Alam mengajari saya bahwa kekuasaan sejati bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling sabar menunggu. Yang paling setia menemani. Yang paling rendah hati memberi tanpa minta balasan.
Dan ketika saya menulis tentang alam, saya sebenarnya sedang menulis tentang manusia. Karena kita bagian dari alam. Karena kita lupa itu. Karena kita butuh diingatkan (lewat kata-kata) bahwa kita bukan tuan atas bumi, tapi saudara bagi segala yang bernapas.
Merangkul sesama dengan cinta, persaudaraan, dan saling memberi, inilah puncak dari kekuasaan kata. Bukan untuk menguasai, tapi untuk merangkul. Bukan untuk menang, tapi untuk menyatukan.
Saya menulis surat untuk teman yang sedang depresi bukan nasihat, bukan motivasi murahan, hanya cerita kecil tentang kupu-kupu yang salah terbang ke kamar saya, lalu pergi lagi dengan sayap yang masih utuh. Ia balas: "Aku merasa seperti kupu-kupu itu. Masih bisa terbang. Terima kasih Fren sudah datang menemani meski hanya kata."
Saya menulis puisi pendek untuk tukang sampah di depan rumah tentang tangannya yang kasar tapi hatinya yang lembut, tentang senyumnya yang tak pernah absen meski hujan deras. Esoknya, ia bawa pisang goreng buat saya. "Buat penulis kecil yang bikin hari saya berarti." Ini tentu hanya metafora, karena belum tentu tukang sampah pernah membaca tulisan saya. Mana sempat dia. Dia sudah sangat sibuk menolong kita untuk memilah-milah sampah dan membersihkan bumi. Apakah dia pernah membaca Laudato Si? Tidak juga!
Saya menulis catatan harian tentang ibu yang duduk sendiri di bangku taman, matanya berkaca-kaca. Saya tak tanya apa yang terjadi. Saya hanya duduk di sampingnya. Diam. Sampai ia berkata, "Terima kasih. Sudah lama tak ada yang duduk diam begini sama saya." Tentu jawabannya hanyalah sebuah kerinduan dari orang-orang yang merasa sendirian, yang kesepian di tengah kegemerlapan jagat, yang merasa tersisih di tengah persaingan.
Inilah kekuasaan kata yang sesungguhnya:
ketika ia tak lagi berada di layar atau di kertas,
tapi berpindah ke dalam pelukan,
ke dalam senyum,
ke dalam keheningan yang saling mengerti,
saling menggenggam lewat jemari yang tidak bertautan,
tapi lewat senyuman yang terpancar setelah ia membaca: saya hadir untuknya.
Saya tak tahu apakah tulisan saya akan jadi besar.
Tapi saya tahu: tulisan saya bisa jadi penting  bagi satu orang, dua orang, atau bahkan hanya bagi diri saya sendiri.
Karena menulis dengan hati adalah bentuk cinta.
Membaca fenomena dengan budi adalah bentuk keadilan.
Mendengarkan alam dengan nurani adalah bentuk kerendahan hati.
Dan merangkul sesama dengan cinta, persaudaraan, dan saling memberi adalah bentuk doa yang paling nyata.
Saya tak butuh ribuan pembaca.
Cukup satu hati yang merasa: "Oh, jadi aku tidak sendiri."
Itu sudah lebih dari cukup.
Itu sudah kekuasaan yang sesungguhnya.