Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[fiskireligi] Antrean

10 September 2025   18:53 Diperbarui: 10 September 2025   18:53 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi manusia menanti jemputan Sang Pencipta, olahan GemAIBot, dokpri)

Antrean 

Di suatu tempat yang tak terlihat oleh mata, di balik kabut waktu dan di luar ukuran dunia, ada sebuah antrean panjang. Bukan antrean untuk naik kereta, bukan untuk tiket konser, bukan pula untuk visa ke negeri asing. Ini adalah antrean menuju sebuah gerbang; gerbang yang hanya disebut dengan satu kata: Surga.

Orang-orang dari segala penjuru datang. Ada yang berjubah putih, ada yang bersari, ada yang berpakaian sederhana tanpa simbol agama. Mereka berjalan kaki, sebagian menuntun anak, sebagian membawa doa yang terus bergumam dari bibir yang lelah. Mereka datang dari pulau-pulau kecil, dari desa-desa terpencil, dari kota-kota yang hiruk-pikuk. Mereka semua punya satu tujuan: masuk.

Di depan gerbang, duduk seorang penjaga. Ia tidak memakai seragam, tidak membawa senjata, hanya sebuah buku besar yang terbuka perlahan tertiup angin. Ia tersenyum, tenang.

Orang pertama mendekat. Ia mengenakan pakaian serba putih, peci, dan tas kecil berisi Al-Qur'an.
Penjaga bertanya, "Siapa namamu?"
"Ahmad," jawabnya.
"Apa yang kau bawa?"
"Iman, taubat, dan rasa kasihan kepada yang lemah."

Penjaga mengangguk, lalu membuka buku. Tidak mencari nama. Tidak menanyakan dokumen. Ia hanya menatap mata Ahmad, lalu berkata, "Silakan masuk."

Berikutnya, seorang wanita berjilbab biru membawa salib kayu.
"Nama?"
"Maria."
"Apa yang kau bawa?"
"Cinta. Aku merawat anak yatim selama dua puluh tahun. Aku tidak pernah membeda-bedakan siapa yang datang ke gereja."

Penjaga tersenyum. "Masuklah."

Kemudian seorang lelaki tua, bersandang tas berisi kitab suci, kepalanya memakai ikat kepala.
"Namaku Wayan."
"Apa yang kau bawa?"

"Damai. Aku memaafkan orang yang membakar pura kami. Aku tetap berdoa untuk mereka."
Penjaga menulis sesuatu di bukunya, hanya satu kata: Terima.

Tak lama, datang seorang muda, tanpa atribut agama, hanya membawa seikat bunga dan sebuah lentera.
"Kau siapa?" tanya penjaga.
"Aku tidak tahu. Aku hanya tahu aku percaya pada Yang Maha Esa, dan aku mencintai alam."
"Kau punya dokumen? KTP? Surat pengakuan agama?"

Ia menggeleng.

Penjaga diam sejenak. Lalu tertawa kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun