Darmo menyalakan lampu. Di bawah sinar kuning, ia melihat gigi serinya berbaring di dasar wastafel, putih bersih seperti kapas pohon kapok.
"Apa-apaan ini?" Ia tertawa gugup. Mimpi. Pasti mimpi.
Tapi esok pagi, saat sarapan nasi goreng di ruang makan mewah, gigi depannya copot. Kali ini, ia tak bisa menyangkal. Gigi itu terjatuh ke piring, berguling seperti bola kapas yang tertiup angin, lalu menghilang di celah meja.
Istrinya berteriak. Asisten rumah tangga menjerit. Darmo hanya terdiam, tangan gemetar menyentuh gusi yang berlubang.
"Dokter! Panggil dokter!"
Tapi dokter gigi yang datang menggeleng. "Tidak ada yang salah secara medis, Pak. Gigi Bapak... terlepas begitu saja."
Hari ketiga, gigi rontok makin kencang.
Di rapat kabinet, Darmo berusaha bicara. "K-kita harus..."
Plak. Plak. Plak.
Tiga gerahamnya terlempar ke meja konferensi, bergelinding seperti kelereng. Para menteri terdiam. Sri Mulyani menutup mulut. Luhut tertawa canggung.
"Maaf... saya salah ucap," Darmo terbata, darah mengalir dari sudut bibirnya.