Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Koper dan Berkah yang Tak Terduga

9 September 2025   04:00 Diperbarui: 9 September 2025   06:25 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan Grok.AI, dokpri)

Mobil pun melanjutkan perjalanan, kini dengan penumpang tambahan: saya, Ibu, Bruder Simon, SVD, dan suasana yang tiba-tiba terasa seperti doa berjalan.

Di dalam mobil, percakapan mengalir pelan. Tentang kampung, tentang iman, tentang kehidupan di pedalaman Flores. Saya mendengarkan dengan hati penuh syukur.  Saya merasa seperti sedang mengikut misa syukur tanpa liturgi, yakni hanya dengan kehadiran orang-orang baik di sekelilingku.

Tiba di Ende sudah mulai malam. Tidak ada lagi bis yang akan ke Bajawa dan Ruteng. Saya tidak perlu pergi ke penginapan. Tidak mencari warung makan. Tidak juga tidur di terminal.

Saya diantar ke Biara Bruder SVD.

"Besok pagi, bis ke Ruteng lewat depan biara," kata Bruder Simon. "Kamu bisa berangkat dari sini. Malam ini, istirahatlah di sini. Makan bersama kami."

Dan begitulah. Saya makan malam bersama para bruder, dengan lauk sederhana: ikan asin, sayur kelor, dan jagung rebus. Tidak mewah. Tapi rasanya seperti pesta. Karena makanan itu bukan sekadar mengisi perut tetapi mengisi jiwa jiwa yang sedang berlimpah mendapat berkah.

[Beginikah hidup sebagai imam kelak? Kemana-mana sudah ada tempat untuk membaringkan diri, ada meja makan yang siap menyajikan aneka lauk kehidupan, ada sahabat dan komunitas yang selalu siap menerima saudara seiman yang memberikan dirinya bagi Gereja dan Allah? Namun refleksi itu kemudian berhenti tahun 2002 ketika saya memutuskan untuk mengundurkan diri dan hidup sebagai awam. Sehingga saya bisa membagikan kisah ini kepada pembaca]

Pagi-pagi buta, sebelum matahari terbit, saya sudah duduk di depan biara. Udara Ende masih dingin meski tidak jauh dari pantai. Angin pagi membawa bau tanah basah dan doa-doa yang belum selesai.

Tak lama, bis tua jurusan Ruteng (akan melewati Aimere tempat tinggal kedua orang tuaku) melintas. Sopirnya mengangguk. Bruder Simon memberi semangat dan ucapan selamat jalan. Sedangkan Ibu tua yang baik hati menemani saya dari Maumere, meski tidak ada di situ, seolah ikut mendoakan.

Saya naik bus Agogo. Dan perjalanan berlanjut. 

Sebuah Perbuatan Kecil, Rantai Berkah yang Tak Berujung

Apa yang terjadi sebenarnya? Sebuah tindakan kecil: membawakan koper seorang ibu. Tidak direncanakan. Tidak untuk mencari pahala. Tidak dengan harapan apa pun. Tapi dari situ, terbuka: Tumpangan gratis dari Maumere ke Ende; Makan malam hangat bersama para bruder; Tempat menginap aman di biara dan Titik keberangkatan strategis untuk melanjutkan perjalanan ke Aimere

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun