Menjadi Murid Kristus Di Era Digital: Antara Kehendak Allah, Kesetaraan, Dan Kelepasan Diri
Di era digital yang serba cepat, terhubung, dan penuh godaan, ketiga bacaan hari ini mengajak kita merenungkan makna menjadi murid Kristus yang otentik. Dunia digital menawarkan kemudahan, kebebasan, dan kekuasaan atas informasi.
Namun di balik itu, ia juga menggoda kita untuk mengambil alih kendali, menciptakan hierarki semu, dan mengikat diri pada kepemilikan yang bersifat virtual maupun material. Di tengah arus ini, Yesus menantang kita: "Apakah engkau sungguh-sungguh siap menjadi murid-Ku?"
Mengakui Keterbatasan Dalam Memahami Kehendak Allah (Keb 9:13-18)
"Siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan?"Â (Keb 9:13)
Di zaman yang mengagungkan kecerdasan buatan, algoritma, dan data besar, kita cenderung percaya bahwa segala sesuatu bisa diprediksi, dikontrol, dan dimengerti. Namun, Kitab Kebijaksanaan mengingatkan: "Siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan?" Pikiran manusia terbatas; rencana Allah tak terjangkau.
Di media sosial, kita sering merasa paling tahu, paling benar, paling bijak, bahkan dalam menilai kehendak Allah atas hidup orang lain. Padahal, menjadi murid Kristus berarti belajar rendah hati: mengakui bahwa Allah bekerja dalam cara yang tak terduga, dan bahwa kebijaksanaan sejati datang bukan dari likes atau trending, melainkan dari doa, sabda, dan komunitas iman.
Di era digital, jangan biarkan algoritma menggantikan Allah sebagai penentu arah hidupmu.
Membangun Relasi Setara Dan Penuh Kasih (Flm 9b-17)
"Terimalah dia, bukan sebagai hamba, melainkan sebagai saudara terkasih."Â (Flm 16)
Paulus menulis surat pribadi kepada Filemon, meminta dia menerima Onesimus (seorang budak yang lari) bukan sebagai hamba, tetapi sebagai "saudara terkasih". Ini adalah revolusi relasional: dari hierarki menuju persaudaraan, dari kepemilikan menuju kebebasan dalam kasih.
Di dunia maya, kita sering terjebak dalam dinamika kuasa: siapa yang punya followers paling banyak, siapa yang paling viral, siapa yang paling berhak berbicara. Kita menciptakan "budak-budak digital", orang yang kita hina, bully, atau abaikan karena mereka tidak "selevel" kita. Menjadi murid Kristus berarti mengubah logika ini: melihat setiap orang (bahkan yang berbeda pendapat, yang "kecil" di mata dunia) sebagai saudara yang dikasihi Allah.