Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

[psikologi] Ketika Kata-Kata Menjadi Pedang: Psikologi Kehilangan Empati dalam Public Speaking Pejabat

6 September 2025   21:36 Diperbarui: 6 September 2025   21:36 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: diambil dari salah satu akun Facebook)

Ketika Kata-Kata Menjadi Pedang: Psikologi Kehilangan Empati dalam Public Speaking Pejabat

Gambar itu menunjukkan seorang pejabat negara, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikdasmen), dengan senyum tenang, kacamata hitam, dan baju batik yang rapi. Di belakangnya, para staf berdiri tegak, seperti patung yang diposisikan untuk memperkuat citra kekuasaan. Tapi di bawah gambar itu, terpampang judul yang mengguncang: "4.000 Siswa Keracunan, Mendikdasmen: Tidak Berarti MBG Dihentikan."

Sederhana. Tegas. Dan begitu menyakitkan.

Karena dalam satu kalimat, menteri itu tidak hanya menolak untuk menanggapi krisis kemanusiaan, tapi juga menghancurkan harapan, empati, dan kepercayaan publik. Ia tidak mengatakan "kita sedang menangani," atau "saya turun langsung," atau bahkan "saya prihatin." Ia bilang: "Tidak berarti MBG dihentikan."

Sebuah pernyataan yang secara psikologis bukan hanya tidak empatik, tapi nir etika, karena ia mengubah prioritas dari kehidupan manusia menjadi proyek politik. Pernyataan yang memperlihatkan proyek MBG lebih penting dari keselamatan nyawa siswa.

Saya pribadi beberapa kali menolak MBG yang ditawari kepada saya. Bukan karena saya takut keracunan, tetapi saya mau konsisten dengan perjuangan saya sejak awal mula. MENOLAK MBG dan menghendaki diberi dalam bentuk SPP atau dana kegiatan lainnya kepada siswa kepada semua sekolah, tidak peduli negeri atau swasta.

Trauma Kolektif dan Kegagalan Empati

Empati adalah kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain. Dalam psikologi sosial, empati dibagi dua: empathic concern (perhatian emosional) dan cognitive empathy (pemahaman intelektual). Menteri ini gagal pada kedua aspek itu. Bayangkan, pejabat pembuat kebijakan gagal dan tidak memiliki kedua model empati ini. Mau tertawa takut kualat, mau menarik eman-eman air mata saya. Lebih baik saya menulis kritik ini saja.

Bayangkan 4.000 siswa keracunan. Bayangkan anak-anak usia sekolah dasar dan menengah, muntah, pusing, tidak bisa berdiri. Bayangkan orang tua mereka datang ke rumah sakit dengan wajah putus asa. Bayangkan guru-guru yang menangis di tengah kelas. Ini bukan angka. Ini adalah trauma kolektif, luka yang dirasakan oleh ribuan keluarga, komunitas, dan sistem pendidikan.

Namun, saat menteri tiba, ia tidak membawa obat, tidak membawa tim medis, tidak membawa janji. Ia membawa pidato tentang proyek MBG, sebuah program yang dikenal sebagai Merdeka Belajar-Gerakan Nasional, yang ditujukan untuk transformasi pendidikan.

Dalam konteks ini, pernyataannya bahwa "tidak berarti MBG dihentikan" adalah penyangkalan terhadap urgensi kemanusiaan. Ia tidak melihat korban sebagai manusia, tetapi sebagai variabel dalam program atau lebih tepatnya proyek "menghabiskan" uang yang sudah dianggarkan, tanpa rencana untuk revisi program. Misalnya dengan mengalihkannya menjadi beasiswa massal untuk semua siswa namun diberikan secara langsung kepada sekolah yang mengelola, bukan kepada siswa. Ini sebuah kegagalan empati yang mendalam, yang menunjukkan bahwa pejabat telah terlalu jauh dari realitas rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun