Surat Pembaca: Mari Kita Kembali Berpegangan Tangan
Kepada saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air,
Di tengah hiruk-pikuk pemberitaan, di antara unggahan yang memanas dan ajakan yang kadang menghasut, saya ingin menyapa Anda dengan tenang. Bukan sebagai tokoh, bukan sebagai politisi, tapi sebagai sesama warga yang sama-sama merasakan gelisahnya negeri ini. Saya menulis surat ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengajak kita semua berhenti sejenak, menarik napas, dan saling mengingatkan: kita masih Indonesia.
Saya tahu, banyak dari kita yang marah. Marah karena harga kebutuhan melambung. Marah karena melihat pejabat yang seolah hidup di dunia lain. Marah karena janji yang terus diulang, tapi tak pernah ditepati. Marah karena anak kita susah kuliah, tetangga kita kehilangan pekerjaan, dan tetap harus tersenyum di tengah kesulitan. Marah itu manusiawi. Tapi marah bukan alasan untuk kehilangan akal.
Sebagai seorang guru tidak tetap di beberapa sekolah, kadang saya juga marah ketika penghargaan kepada kami amat tidak pantas, tapi kemarahan yang tidak pada tempatnya, tidak solutif justru merugikan bukan hanya diri sendiri tapi banyak orang. Untuk itu pilihan agar tetap rasional, berhati sejuk dan berkepala dingin menjadi pilihan paling aktual saat ini, agar tidak semakin menyulut api kemarahan yang kini mulai menular tanpa henti. Mari kita berhati dingin, memadamkan panasnya amarah yang salah sasaran.
Saya khawatir. Khawatir melihat anak muda yang semangatnya tinggi, tapi terjerumus dalam kerusuhan yang tidak lagi membawa pesan, hanya meninggalkan asap dan luka. Khawatir melihat ibu-ibu yang kehilangan anak karena terjebak dalam bentrokan. Khawatir melihat fasilitas umum (tempat anak kita belajar, warga renta berobat, pekerja menumpang) dirusak oleh tangan-tangan yang sebenarnya ingin berteriak keadilan, tapi tak tahu lagi caranya. Apalagi bila disusupi oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab yang mengail "ikan" (menjarah dan membakar) di air keruh.
Mari kita waspada!
Waspada terhadap hasutan di media sosial yang memprovokasi kebencian.
Waspada terhadap emosi yang cepat membara, tapi lambat merenung.
Waspada terhadap siapa pun yang ingin kita saling benci, hanya agar mereka bisa terus duduk nyaman di atas kekuasaan.
Sebarkan berita baik.
Sebarkan kebaikan.
Ajak tetangga, saudara, dan anak-anak kita untuk tidak terlibat dalam demonstrasi yang anarkis.
Jelaskan bahwa merusak bukan perlawanan, itu keputusasaan yang kehilangan arah. Yang menderita kerugian adalah kita masyarakat kecil, yang saban hari harus banting tulang demi sesuap nasi, bukan yang mudah memperkaya diri dengan menjarah atau mencuri yang bukan milik kita. Itu tidak menjadi berkah bagi kita, juga bagi mereka yang kita kasih makan dari hasil jarahan.
Jelaskan bahwa keadilan tidak dibangun di atas kehancuran, melainkan di atas kesabaran, keberanian, dan dialog yang jujur.
Jaga keluarga kita!
Jaga anak-anak kita!
Ingatkan mereka bahwa mereka berharga, dan hidup mereka lebih penting daripada satu malam di jalan yang berakhir di sel tahanan atau rumah sakit.
Dan di tengah ketegangan ini, mari saling jaga.
Kalau Anda punya tetangga yang kesulitan, bantu.
Kalau ada yang lapar, beri makan.
Kalau ada yang marah, dengarkan: bukan dengan menghasut, tapi dengan empati.
Karena kekuatan Indonesia bukan di gedung-gedung tinggi, bukan di kursi-kursi kekuasaan, tapi di hati rakyatnya yang masih mau peduli, masih mau berbagi, masih mau memaafkan.
Kita mungkin berbeda pilihan, berbeda pendapat, bahkan berbeda cara menyampaikan suara.
Tapi kita masih satu: Indonesia.
Dengan Bhinneka Tunggal Ika yang pernah mengantarkan kita merdeka.
Dengan semangat gotong royong yang pernah membangun desa-desa dari nol.
Dengan cinta yang masih menyala, meski negeri ini sedang sakit.
Mari kita pulihkan.
Bukan dengan kekerasan.
Tapi dengan keberanian untuk berbicara baik, untuk mendengar, untuk memaafkan, dan untuk memulai lagi.