Menantu dan Mertua: Antara Ujian Karakter dan Harga Diri yang Tidak Boleh Dinegosiasikan
Beberapa waktu lalu, sebuah potongan podcast viral. Bukan karena aksi lawakannya, bukan pula karena kontroversi politik, melainkan karena pengakuan seorang ibu (seorang figur publik ternama) yang mengaku sengaja mengospek pacar anak laki-lakinya hingga menangis dan memilih putus. "Kalau mau pacaran sama anakku, terima aku apa adanya. Kalau kamu langsung menilaiku buruk, maka ke sananya juga tidak akan betah," ujar Imasoh, tegas.
Kalimat itu menggema di benak banyak orang. Di satu sisi, terdengar seperti prinsip: cinta bukan hanya pada satu orang, tapi juga keluarganya. Di sisi lain, ada yang merasa kalimat itu membungkus kekerasan emosional dalam bungkus filosofi. Bagaimana jika calon mertua memang ketus? Haruskah kita menelan kepahitan itu demi cinta? Haruskah harga diri dikubur hanya untuk bisa diterima?
Pertanyaan ini bukan sekadar soal lanjut atau tinggalkan. Ini adalah ujian kedewasaan, tentang bagaimana kita memilih hidup, apakah dengan kompromi yang sehat, atau dengan penyerahan diri yang melelahkan.
Mertua Bukan Ujian, Tapi Cerminan Keluarga
Saat pertama kali bertemu calon mertua, kita bukan hanya menghadapi seorang tua. Kita menghadapi dunia yang telah membentuk pasangan kita dengan nilai, trauma, harapan, dan kecemasan yang mungkin tak pernah dia ceritakan. Maka, ketika seorang mertua bersikap keras, dingin, atau bahkan sinis, itu bukan sekadar soal "apakah dia suka saya atau tidak". Itu adalah undangan untuk membaca lebih dalam: seperti apa rumah yang melahirkan cintaku?
Tapi di sinilah letak dilemanya. Tidak semua kekerasan bisa dibungkus sebagai "ujian karakter". Ada mertua yang memang ingin menguji keseriusan, dengan pertanyaan mendalam dan sikap yang tegas tapi adil. Namun, ada pula yang menjadikan ketus sebagai senjata untuk mengontrol, merendahkan, atau bahkan menjauhkan menantu dari anaknya. Mereka yang banyak syarat, posesif, suka membandingkan, atau matre, bukan sedang menguji. Mereka sedang mempertahankan kekuasaan.
Dan ironisnya, justru di sinilah banyak orang terjebak. Karena cinta, mereka memilih bertahan. Karena takut kehilangan, mereka memilih diam. Seperti MS, yang bertahan meski suaminya tak pernah membela saat ibu mertua bersikap kasar.
Tapi cinta yang sehat tidak meminta kita untuk kehilangan diri.
Hormat Bukan Berarti Tunduk
Budaya kita mengajarkan rasa hormat yang tinggi kepada orang tua. Tapi terkadang, batas antara hormat dan tunduk menjadi kabur. Kita diajarkan untuk tidak membantah, tidak melawan, tidak menunjukkan emosi. Padahal, hormat yang sejati bukan datang dari keheningan, melainkan dari kematangan komunikasi.