Akibatnya, sekolah pun menyesuaikan. TK yang dulu bangga dengan program "berkebun bersama" atau "pekan seni anak", kini lebih bangga memamerkan siswa yang bisa membaca buku cerita pendek sebelum masuk SD. Guru TK yang dulu dievaluasi dari cara mereka menangani konflik antar anak, kini lebih sering dinilai dari seberapa banyak siswa yang mencapai indikator literasi.
Padahal, riset perkembangan anak secara konsisten menunjukkan: anak yang belajar membaca terlalu dini tidak otomatis lebih sukses di masa depan. Justru anak yang memiliki dasar emosional kuat, rasa ingin tahu tinggi, dan keterampilan sosial baik, lebih siap menghadapi tantangan pendidikan jangka panjang.
Kembali ke Akar: TK sebagai Lahan Pembentukan Manusia, Bukan Mesin Belajar
Kurikulum Merdeka sebenarnya membuka peluang untuk kembali ke esensi pendidikan usia dini. Dengan pendekatan yang lebih fleksibel, berbasis projek, dan menekankan Profil Pelajar Pancasila (seperti beriman, berakhlak mulia, mandiri, bergotong royong, berpikir kritis, dan kreatif) ada harapan bahwa TK bisa kembali menjadi tempat pembentukan karakter utuh, bukan sekadar tempat latihan akademik.
Namun, realisasinya masih tergantung pada bagaimana guru, sekolah, dan orang tua memaknai "kemerdekaan" itu. Jika kemerdekaan diartikan sebagai kebebasan untuk mempercepat materi SD, maka TK akan semakin jauh dari jiwanya. Tapi jika kemerdekaan dimaknai sebagai kebebasan untuk menempatkan anak sebagai subjek utama dalam proses tumbuh (yang butuh waktu, ruang, dan kasih sayang) maka TK bisa kembali menjadi taman yang sesungguhnya.
Guru TK harus kembali dihargai bukan karena bisa membuat anak menulis sebelum usia 6 tahun, tapi karena bisa membuat anak merasa aman, dicintai, dan percaya bahwa dunia ini tempat yang menyenangkan untuk dieksplorasi.
Penutup: Bermain Itu Serius, Tapi Tidak Dianggap Serius
Dulu, seorang guru TK dibilang sukses jika murid-muridnya bisa berbagi bekal tanpa diminta. Sekarang, ia dianggap sukses jika murid-muridnya bisa menulis nama sendiri tanpa kesalahan.
Padahal, kemampuan berbagi itu jauh lebih sulit daripada menulis. Ia melibatkan empati, pengendalian diri, dan kesadaran sosial, karakter yang dibutuhkan seumur hidup. Sementara menulis nama bisa dipelajari kapan saja. Bahkan, bisa dilupakan dan dipelajari lagi.
Mari kita kembalikan TK pada hakikatnya: bukan sebagai miniatur SD, tapi sebagai taman pertama dalam perjalanan menjadi manusia. Dan kepada para guru TK: terima kasih karena kalian masih rela jongkok di lantai, membersihkan noda makanan, menenangkan tangisan, dan mengajarkan hal-hal kecil yang justru membentuk hal-hal besar dalam hidup anak-anak. Karena di balik setiap anak yang tumbuh menjadi manusia baik, ada guru TK yang pernah berkata, "Ayo kita coba lagi." Dan itu, jauh lebih penting daripada huruf A yang sempurna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI