Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Memberi dengan Hati: Menyeimbangkan Cinta dan Kewajiban dalam Keluarga

7 Agustus 2025   09:55 Diperbarui: 7 Agustus 2025   09:55 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan Chat GPT, dokpri)

Memberi dengan Hati: Menyeimbangkan Cinta dan Kewajiban dalam Keluarga

Sebuah Pengalaman Kecil

Setiap Kamis sore, telepon saya berdering. "Halo, Ma," sapaku, sudah hafal ritual ini. Suara mama di ujung sana selalu riang, meski kadang terdengar capek. Kami ngobrol panjang: dari harga beras yang makin mahal, batuk mama yang suka datang malam, sampai keponakan yang pulang bawa nilai bagus.

Di akhir, saya selalu bilang, "Nanti saya kirim beras sama token listrik, ya, Ma." Mama cuma tertawa pelan, tapi saya tahu dia senang. Itu kebiasaan kami bertahun-tahun, sampai lima tahun lalu, telepon itu berhenti.

Mama pergi menyusul ayah sehari setelah menelepon saya usai saya menderita covid delta yang ganas kala itu. Mama pergi tidak dalam keadaan sakit parah, hanya mengeluh sesak nafas dan dalam waktu hanya setengah jam ia pergi selamanya. Saya tidak bisa pulang untuk memeluk dan memakamkan mama terakhir kalinyanya karena sedang masa covid yang melarang semua warga bepergian.

Setelah mama pergi dini hari 02 Februari 2020 baru saya sadar bahwa memberi itu bukan cuma soal uang, tapi soal hati, perhatian kecil bahkan sekadar say hello melalui telepon. Kesadaran yang terlambat seperti ini sudah menjadi refrein yang alami dialami hampir banyak orang.

*

Jauh hari sebelum menikah, cara saya memberi orang tua tidak berupa uang. Tetapi melalui buku-buku yang saya tulis. Saya kirimkan 100 eks untuk bapak saya almarhum. Bapak akan dengan bangga menjualkan buku-buku itu kepada para mantan muridnya, para teman gurunya dengan rasa bangga. Ya, dengan cara sederhana saya ingin menebus kebanggaan bapak yang tertunda karena saya memilih untuk tidak jadi imam atau pastor katolik. Saya ingin memberikan bapak rasa bangga saat menawarkan buku, "Ini buku yang ditulis anak kita." Dalam kata-kata itu ada kebanggaannya sebagai seorang ayah, apalagi di tengah umat mayoritas katolik yang anaknya gagal menjadi imam itu menjadi semacam "aib". 

Dari 100 buku per judul (beberapa judul yang saya tulis sebelum tahun 2007) Bapak bisa membeli genset dan alat pertukangan (listrik). Saya tak pernah meminta Bapak mengirimkan hasil jualan buku-buku itu. Saya "bon" di penerbit lalu mencicilnya dengan gaji atau bonus kerja. Begitulah cara sederhana dalam memberi perhatian kepada orang tua: memberi rasa bangga, rasa nyaman dan juga perhatian kecil. 

***

Bagi saya pribadi dan mungkin bagi banyak orang, ini adalah rutinitas penuh makna, ritual yang menunjukkan kasih sayang pada orang tua. Tapi, ketika seseorang menikah dan membangun keluarga baru, memberi menjadi lebih rumit. Bukan lagi sekadar soal hati, tapi juga soal keseimbangan, komunikasi, dan kebijaksanaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun