Pegadaian mengEMASkan Indonesia: Membangun Generasi Emas 2045 dari Akar Rumput
Di tengah gemerlap pembangunan infrastruktur dan target ambisius Indonesia Emas 2045, ada satu pertanyaan krusial yang sering terlupakan: Siapa yang akan mewarisi kemajuan ini? Visi besar Indonesia menjadi salah satu dari lima ekonomi terbesar dunia pada 2045 tidak bisa hanya diukur dari jumlah jalan tol, bandara, atau kapal laut. Yang paling menentukan adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) - generasi muda yang saat ini duduk di bangku sekolah, kuliah, atau bahkan terjebak dalam kemiskinan struktural.
Di sinilah Pegadaian, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dekat dengan rakyat, memiliki peran strategis yang belum sepenuhnya dimaksimalkan: mengEMASkan Indonesia, bukan hanya secara harfiah, tapi juga secara filosofis.
Dari Gadai Emas ke Investasi Masa Depan
Pegadaian dikenal luas sebagai tempat menyimpan emas dan mengakses dana darurat. Namun, jika kita membaca lebih dalam, Pegadaian bukan sekadar lembaga keuangan mikro - ia adalah jembatan keuangan bagi 70 juta lebih masyarakat Indonesia yang belum tersentuh oleh perbankan formal. Di desa-desa terpencil, warung kelontong, atau pelosok pedesaan, Pegadaian adalah institusi yang dipercaya. Ini bukan hanya soal transaksi, tapi soal kepercayaan.
Lalu, bagaimana jika kepercayaan itu dialihkan dari menyimpan emas menjadi mencetak emas manusia? Maksudnya: membuka program beasiswa nasional yang berkelanjutan, inklusif, dan berbasis data, khususnya bagi pelajar dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu?
Bayangkan: anak petani di Nusa Tenggara Timur, anak nelayan di Papua, atau anak pedagang kaki lima di pinggir jalan Jakarta, bisa kuliah karena mendapat beasiswa dari Pegadaian. Bukan sekadar bantuan uang, tapi juga pendampingan, pelatihan keterampilan digital, dan akses ke jaringan kerja. Ini bukan mimpi. Ini bisa jadi kenyataan jika Pegadaian berani memperluas misinya dari ekonomi mikro ke investasi sosial jangka panjang.
Bonus Demografi: Emas atau Bencana?
Indonesia sedang berada di puncak bonus demografi, di mana lebih dari 64% penduduknya berusia produktif (15-64 tahun) hingga 2045. Namun, bonus ini bisa berubah menjadi bencana jika tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia hanya 32% pada 2024, jauh di bawah Malaysia (43%) dan Thailand (49%).
Artinya, 68% generasi muda tidak melanjutkan pendidikan tinggi, banyak karena alasan ekonomi. Mereka bukan tidak pintar, tapi tidak mampu. Di sinilah Pegadaian bisa menjadi agen transformasi sosial. Dengan jaringan lebih dari 4.800 kantor cabang di seluruh Indonesia, termasuk daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal), Pegadaian memiliki jangkauan geografis yang tak dimiliki banyak lembaga lain.
Beasiswa Berbasis Gadai: Model Inovatif yang Layak Dicoba
Pegadaian tidak perlu memulai dari nol. Ia bisa mengembangkan model "Beasiswa Emas" - program yang menggabungkan prinsip keuangan syariah dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Caranya?