Prinsip Politik Luar Negeri Bebas Aktif Indonesia: Sejarah, Implementasi, dan Tantangan Modern
Sejak 1945, politik luar negeri bebas aktif bukan hanya doktrin, tapi jati diri Indonesia. Bebas dari blok, aktif dalam perdamaian. Di masa Perang Dingin, Indonesia memilih non-blok.
Kini, di tengah persaingan AS-Tiongkok, Indonesia tetap menolak memilih pihak. Prinsip ini bukan ketakutan, melainkan strategi: menjaga kedaulatan, memperkuat posisi tawar, dan menjadi penyeimbang.
Dalam konflik Thailand-Kamboja, Indonesia kembali membuktikan peran itu. Pada 2011, ketika ketegangan memuncak, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan shuttle diplomacy (mengunjungi Bangkok dan Phnom Penh secara bergantian) untuk meredakan api yang nyaris membakar kawasan.
Hasilnya? Pembentukan Komite Perbatasan Bersama, gencatan senjata, dan pengiriman Tim Pengamat Indonesia (IOT) yang diakui oleh Mahkamah Internasional. Indonesia tidak memaksa, tidak menghakimi, hanya memfasilitasi. Dan itu berhasil.
Namun, tantangan kini lebih kompleks. Opini publik Indonesia mulai condong ke Tiongkok (74,2% responden survei 2024 lebih memercayai Beijing daripada Washington) bukan karena cinta, tapi karena kekecewaan terhadap sikap Barat yang dianggap hipokrit, terutama dalam konflik Israel-Gaza.
Di sisi lain, Indonesia terus memperkuat kerja sama ekonomi dengan Tiongkok, terutama di sektor hilirisasi mineral dan kendaraan listrik. Tapi tetap, Jakarta tidak pernah menandatangani aliansi militer. Indonesia memilih strategic multi-alignment: dekat dengan semua pihak, tetapi milik dirinya sendiri.
Peran Mediasi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Melalui ASEAN: Analisis Historis dan Tantangan Struktural
Indonesia bukan mediator karena ingin dikenal, tapi karena merasa berkewajiban. Sebagai negara terbesar di ASEAN, dengan ekonomi dan militer terkuat, Indonesia sadar bahwa stabilitas kawasan adalah kepentingan nasional. Namun, mediasi bukanlah jaminan keberhasilan, terutama ketika ASEAN sendiri memiliki mekanisme yang lemah.
Ambil contoh Enhanced Dispute Settlement Mechanism (EDSM), alat hukum ASEAN untuk menyelesaikan sengketa. Dibandingkan WTO yang memiliki 400 staf, Sekretariat ASEAN hanya punya enam orang di divisi hukum.
Bagaimana bisa menangani konflik besar dengan kapasitas seperti itu? Belum lagi prinsip non-interference yang sering dijadikan tameng untuk tidak bertindak. Saat Kamboja mencoba mengaktifkan mediasi ASEAN, Thailand menolak. Mekanisme terhenti bukan karena aturan, tapi karena politik.
Di sinilah peran Indonesia menjadi unik. Bukan menunggu mekanisme formal, Indonesia mengambil inisiatif. Seperti pada 2011, ketika Indonesia mengirim tim pengamat meskipun tidak ada kewajiban hukum. Ini bukan pelanggaran kedaulatan, tapi bentuk tanggung jawab kolektif. Indonesia memahami bahwa dalam dunia nyata, perdamaian tidak lahir dari dokumen, tapi dari keberanian untuk mengambil langkah pertama.