Dari Kayuhan Sepeda hingga Denting Mesin Matic
Pagi masih gelap ketika saya menuntun sepeda tua pemberian sahabat ke jalanan yang sepi, bingkai lampu jalan memberi jejak cahaya lembut. Setiap kayuhan terasa ritmis, seolah menyalakan semangat sebelum matahari benar-benar terbit. Angin dingin menyentuh pipi, membuat langkah kaki kian mantap menggiring pedal. Kurang lebih tiga tahun berkawan dengan deritan rantai sepeda yang kadang belepotan oli, atau kala kuyub di bawah siraman hujan. Itulah pengalaman sekian puluh tahun silam, masih terekam jelas.
Suara rantai yang berderit halus menjadi musik alam pagiku, sederhana, tapi penuh makna. Dalam setiap tarikan nafas, aku merasakan keseimbangan antara pikiran yang masih setengah terlelap dan tubuh yang bersemangat memulai hari. Sepeda itu bukan sekadar alat, melainkan sahabat yang mengajarkanku arti ketekunan dan keheningan pagi. Ia mengajarkan tentang mencapai tujuan tanpa bisingan, bekerja dalam diam, tanpa bikin heboh sebelum mengerjakan semuanya dengan tuntas hingga mencapai hasil sesuai keinginan.
Sahabat Mesin Matic
Seiring jadwal kerja yang menumpuk juga proyek penulisan bersama kementerian komunikasi dan informasi kala itu sehingga kredit motor selama 1 tahun, saya beralih ke motor matic, pilihan yang menjanjikan kecepatan tanpa repot. Ketika menyalakan mesin untuk pertama kali, getaran halusnya terasa seperti sapaan hangat, mendekatkanku pada ritme kota yang dinamis. Jok motor yang empuk dan setang yang ringan membuatku cepat menyesuaikan diri, menembus kemacetan dengan percaya diri.
Motorku selalu siap diajak muter - belanja di pasar, menjemput anak pulang sekolah, bahkan mampir sebentar beli nasi goreng favorit. Perawatan rutin sekadar cek oli dan tekanan ban; mudah, cepat, tanpa drama. Dengan motor matic itu, perjalanan harian terasa seperti dialog ramah: aku memberi bensin, ia membalas setia dengan performa ringan.
Momen Hujan dan Lampu Sein
Suatu sore tiba-tiba hujan deras mengguyur jalanan, turun tanpa aba-aba. Jas hujan tipis kuulurkan, helm hampir terbang tertiup angin, tapi motorku tetap stabil melaju di aspal basah. Rintik air mengalir di visor, menghadirkan sensasi segar sekaligus menegangkan, namun saya tertawa sendirian, menikmati adrenalin petualangan kecil itu.
Tidak lama kemudian, lampu sein motorku mati mendadak saat lampu matahari mulai redup. Di pinggir jalan, aku berjongkok mengganti bohlam dengan bantuan lampu senter kecil. Beberapa menit saja, dan sein kembali berkilau. Momen itu terasa hangat; seolah motor dan saya saling menguatkan di saat tak terduga.
Kenangan dan Pilihan
Kini setiap pagi saya menghidupkan mesin matic dengan sejuta harapan: semoga sampai kantor tepat waktu, semoga anak pulang bahagia, semoga nasi goreng di malam hari masih hangat. Meski sepeda tak lagi jadi kendaraan utama, kenangan kayuhan paginya tak pernah pudar, ia tertanam manis dalam ingatan, mengingatkanku tentang arti langkah perlahan.
Bahkan ketika orang ramai-ramai bersepeda untuk menangkal covid, saya harus bersedih karena sepeda yang begitu setia menemaniku hilang dicuri orang usai dipinjamkan kepada seorang teman yang datang dari daerah untuk kuliah. Sedih karena yang menghilangkan bukan aku tapi orang lain yang hanya sejenak bersamanya. Sungguh menyedihkan!
Motor maticku mengajarkanku nilai efisiensi dan kenyamanan, sementara sepeda dulu mengajarkanku ketenangan dan refleksi. Dalam memilih "teman perjalanan," setiap orang tentu berbeda cerita dan kebutuhannya. Yang terpenting, rawatlah dengan setia apa pun pilihanmu, karena setiap perjalanan, baik yang berirama kayuhan maupun denting mesin, adalah kisah hidup yang layak dikenang.