Penulisan Ulang Sejarah: Pertarungan Antara Kebenaran dan Kekuasaan
Di tengah gemuruh perdebatan tentang kebenaran dan keadilan, sebuah pertanyaan mendasar muncul: apakah kita siap menghadapi cermin sejarah yang mungkin mengungkap sisi gelap yang selama ini disembunyikan? Proyek penulisan ulang sejarah yang digagas pemerintah kini menjadi panggung pertarungan antara kebenaran yang haus pengakuan dan kekuasaan yang ingin menutup buku lama dengan tinta baru. Di sini, di persimpangan antara rekonsiliasi dan penyangkalan, kita bertanya: akankah pena sejarah kali ini menulis untuk menyembuhkan, atau justru untuk melukai lebih dalam?
Bayang-Bayang Masa Lalu yang Tak Bisa Dilupuskan
Bayangkan sebuah bangsa yang mencoba mencuci wajahnya dengan menutup mata terhadap noda-noda di cermin sejarahnya. Bayangkan pula, di tengah sorak-sorai kemajuan, ada tangisan yang disembunyikan, luka yang dipungkiri, dan kebenaran yang dikubur demi narasi yang lebih "cantik".
Inilah yang tengah terjadi di Indonesia saat pemerintah melangkah dengan rencana kontroversial untuk menulis ulang sejarah. Bukan sekadar proyek akademis, ini adalah panggung pertarungan: antara keadilan yang haus pengakuan dan kekuasaan yang ingin menutup buku lama dengan tinta baru. Sejarah, yang seharusnya menjadi guru bagi kita semua, kini terancam jadi alat untuk menyenangkan segelintir orang, dan itu adalah bahaya yang tak bisa kita abaikan.
Ketika seorang tokoh seperti Fadli Zon yang juga menteri kebudayaan melontarkan pernyataan bahwa pemerkosaan massal 1998 "tidak ada", kita tidak hanya mendengar suara penyangkalan, tetapi juga dengungan kekuatan yang ingin memadamkan nyala kebenaran. Ini bukan soal salah ingat atau beda sudut pandang, ini soal hati nurani. Soal keberpihakan pada kemanusiaan dan kebenaran yang terkubur dalam luka yang terus bernanah.
Sejarah bukan milik para penguasa untuk diutak-atik sesuka hati; ia adalah warisan kolektif yang menuntut kejujuran, meski pahit. Dan di sini, di persimpangan antara rekonsiliasi dan penyangkalan, kita bertanya: akankah pena sejarah kali ini menulis untuk menyembuhkan, atau justru untuk melukai lebih dalam?
Luka 1998: Trauma yang Ditolak untuk Diingat
Ada luka yang tak pernah benar-benar sembuh, hanya tertutup debu waktu, dan pemerkosaan massal 1998 adalah salah satunya. Bukan sekadar angka atau catatan di buku sejarah, peristiwa itu adalah jeritan nyata dari ratusan perempuan yang direnggut martabatnya di tengah chaos sosial dan politik.
Ini bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga ledakan kebencian etnis dan penindasan yang mengakar dalam sistem. Namun, tragisnya, bukannya dipeluk dan diakui, korban-korban ini justru dibiarkan sendirian, dikekang oleh narasi yang bersikeras mengatakan, "Itu tidak pernah terjadi."
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya disakiti, lalu diberi tahu bahwa penderitaan Anda hanyalah ilusi? Dalam dunia psikologi, ini disebut secondary victimization, luka kedua yang datang dari penyangkalan dan pengucilan.
Ketika pejabat tinggi atau suara-suara berpengaruh memilih menutup mata terhadap fakta, mereka tidak hanya memutarbalikkan sejarah, tetapi juga memperpanjang penderitaan korban. Ini adalah kekejaman yang terselubung, sebuah pengkhianatan terhadap kemanusiaan yang seharusnya kita junjung bersama.