Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Di Balik Layar Digital: Gaya Hidup Modern yang Menyamar sebagai Kemajuan

19 Juni 2025   11:30 Diperbarui: 20 Juni 2025   07:36 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

Apakah Anda merasa selalu lelah meskipun tidak banyak bergerak? Merasa tertinggal meski sudah bekerja keras? Bisa jadi, Anda tengah terjebak dalam gaya hidup modern yang diam-diam menggerogoti kesehatan fisik dan mental.

Di balik kemajuan teknologi dan keseruan era digital, terselip bahaya laten yang sering diabaikan: ancaman terhadap kesehatan mental. Mari kita eksplorasi bagaimana gaya hidup ini menyamar sebagai progres, padahal justru merusak fondasi kebahagiaan sejati.

Era Digital: Ketika Hidup Mulai Dipantau dari Layar

Kita hidup di zaman ketika segalanya bisa dilakukan dari genggaman tangan - belanja, bekerja, bahkan mencari validasi diri. Laporan We Are Social 2024 menunjukkan bahwa generasi muda menghabiskan rata-rata 3--4 jam per hari di media sosial.

Sayangnya, platform seperti Instagram dan TikTok bukan sekadar hiburan. Mereka menjadi panggung tanpa akhir untuk perbandingan sosial, di mana algoritma terus-menerus memaparkan kita pada citra kehidupan "sempurna": liburan mewah, tubuh ideal, kesuksesan instan.

Efek Perbandingan Sosial

Dr. Jean Twenge menyebut media sosial menciptakan "laboratorium perbandingan diri". Saat kita melihat highlight reel orang lain, otak secara alami membandingkan hidup kita dengan versi terbaik yang mereka pamerkan. Hasilnya? Rasa rendah diri, Fear of Missing Out (FOMO), dan peningkatan risiko gangguan kecemasan. Ironisnya, semakin sering kita "terhubung", semakin rentan kita terhadap kesepian digital.

Solusi: Mindful Scroll dan Digital Detox

Alihkan hubungan Anda dengan media sosial dari kebiasaan impulsif menjadi aktivitas yang lebih bermakna. Mulailah dengan memanfaatkan fitur Digital Wellbeing di ponsel untuk memantau dan membatasi waktu layar.

Bayangkan betapa berharganya waktu 3--4 jam sehari yang biasa dihabiskan untuk scroll tanpa tujuan - waktu itu bisa dialihkan untuk membaca buku, berolahraga, atau sekadar menikmati keheningan. Selain itu, curate akun yang Anda ikuti dengan sengaja: gantilah konten pamer prestise dengan akun yang membagikan ilmu, inspirasi, atau humor segar yang membuat hati dan pikiran lebih ringan.

Tidak hanya itu, jadwalkan "digital detox" harian atau mingguan - misalnya, satu jam tanpa ponsel di pagi hari atau satu hari bebas media sosial dalam seminggu. Dalam masa ini, biarkan pikiran Anda lepas dari tekanan algoritma, fokus pada dunia nyata, dan pulih dari kelelahan digital.

Dengan langkah kecil ini, media sosial tidak lagi menjadi pencuri waktu dan penggerogot mental, melainkan alat yang mendukung pertumbuhan diri.

 

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Budaya "Hustle": Produktivitas yang Berubah Jadi Racun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun