Di sebuah warung kopi di pinggir Jakarta, suasana malam itu panas. Bukan karena kopi tubruk yang diseduh terlalu lama, tapi karena obrolan soal Timnas Indonesia di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026. Dua laga pamungkas tinggal menghitung hari, dan nasib Garuda masih lebih misterius ketimbang sinetron yang endingnya tak pernah jelas. Di meja sudut, sekelompok suporter -yang menyebut diri mereka "Kompasianer Sejati"- sibuk berdebat, sambil sesekali nyanyi "Sweet Seventeen" ala suporter tribun.
"Eh, bro, lo yakin Timnas kita bisa lolos? Dua laga doang, lawan China sama Jepang. Itu kayak lawan penutup warung sama penutup dompet!" canda Budi, si penggemar fanatik yang jaketnya penuh patch Garuda.
"Tenang, Bud," sahut Dedi, yang mengaku analis bola amatir tapi statistiknya selalu ngawur. "Peluang kita 41,7 persen, bro! Itu berdasarkan perhitungan canggih... eh, berdasarkan feeling setelah nonton highlight media sosial tadi pagi."
Di tengah meja, Mang Udin, pemilik warung, ikut nimbrung sambil nyapu. "Lolos atau nggak, yang penting Patrick Kluivert jangan lupa kasih kode ke Jay Idzes buat jagain gawang. Kemarin pas lawan Arab Saudi, kayaknya Idzes lupa bawa kacamata, bolanya lelet banget nggak disapu!"
Semua ketawa, tapi ada benarnya juga. Timnas Indonesia, dengan skuad penuh bintang keturunan macam Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, dan Rafael Struick, memang bikin harapan membumbung. Tapi, dua laga sisa ini ibarat ujian matematika di menit-menit akhir: kudu bener, kudu cepet, dan jangan sampai salah hitung. Apalagi, Marselino Ferdinan dan beberapa pemain inti absen gara-gara cedera, yang menurut rumor, "katanya kebanyakan joget selebrasi di laga sebelumnya."
Laga Pertama: Indonesia vs China, Drama di GBK
Hari pertandingan melawan China tiba. Stadion Gelora Bung Karno penuh sesak, bendera merah putih berkibar, dan teriakan "Garuda di Dadaku" menggema. Di warung kopi Mang Udin, layar teve tua yang agak buram jadi saksi. Budi udah siap dengan jersey nomor 10, meski entah kenapa nomornya agak luntur jadi kayak nomor 18.
Pertandingan dimulai. Menit ke-10, Ragnar Oratmangoen nge-dribble kayak penutup Tiktok, tapi umpannya ke Struick malah nyasar ke penjual cilok di pinggir lapangan. "Ya Tuhan, Ragnar! Itu gawang, bukan gerobak cilok!" teriak Dedi, sambil nyanyi "Manusia Biasa" buat nenangin diri.
Tapi, di menit ke-35, keajaiban datang. Thom Haye, yang rambutnya selalu klimis meski keringetan, ngelepas umpan silang yang disundul Jay Idzes. Gol! Skor 1-0! Warung kopi heboh, Mang Udin sampai nggak sengaja nyanyi "Sweet Seventeen" pake suara fals. Tapi, drama belum selesai. China balas di babak kedua, skor jadi imbang 1-1. Di menit-menit akhir, Struick akhirnya nyanyi "Golplay" dengan tendangan keras ke pojok gawang. Indonesia menang 2-1!
"Bro, ini pertanda! Kita bakal lolos!" Budi kegirangan, meski kopinya tumpah ke celana.
Laga Kedua: Jepang vs Indonesia, Misi Mustahil di Tanah Samurai
Laga terakhir melawan Jepang di kandang lawan jadi penutup yang bikin deg-degan. Jepang, yang main bolanya kayak main shogi, cepet dan rapi. Sementara Timnas Indonesia, dengan semangat "Garuda pantang pulang sebelum menang," cuma bawa modal doa dan strategi Patrick Kluivert yang katanya, "Main menyerang gaya total foof ball, tapi biasanya hanya mutar-mutar di area permainan sendiri, baru kalau ada peluang, baru hajar!"