Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Maria dan Para Perempuan dalam Jalan Salib Yesus: Antara Kesetiaan dan Kekuatan

19 April 2025   09:05 Diperbarui: 19 April 2025   09:05 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi para perempuan dalam Jalan Salib Yesus, olahan GemAIBot, dokpri)

MARIA DAN PARA PEREMPUAN DALAM JALAN SALIB YESUS: ANTARA KESETIAAN DAN KEKUATAN


Di tengah dunia yang riuh dengan hiruk-pikuk individualisme dan ketidakpastian, kisah Jalan Salib Yesus tetap menjadi cermin abadi yang memantulkan keberanian, kasih, dan keteguhan hati. Pada April 2025 ini, ketika kita merenungkan penderitaan Kristus, sorotan kembali tertuju pada Maria, ibu-Nya, dan para perempuan yang setia mendampingi-Nya di jalan sengsara. Di tengah gempita media sosial dan polarisasi global, kisah mereka menggugat kita: apakah kita masih mampu meneladani kesetiaan dan kekuatan seperti yang mereka tunjukkan di kaki salib?

Refleksi: Di Bawah Bayang Salib

Ada sesuatu yang menggetarkan jiwa ketika kita membayangkan Maria berdiri di bawah salib. Matanya, yang pernah memandang bayi Yesus di palungan Betlehem, kini menatap tubuh anaknya yang terkoyak, darah dan luka menjadi saksi bisu pengorbanan Ilahi. Di sisinya, para perempuan -Maria Magdalena, yang pernah dibebaskan dari kegelapan, dan yang lain, yang tak disebut namanya dalam Injil- berdiri tegak, meski hati mereka remuk redam. Mereka bukan sekadar pengiring dalam drama sengsara; mereka adalah pilar-pilar kasih yang menyangga misteri penebusan.

Dalam refleksi ini, saya ingin mengajak Anda menyelami denyut nadi kisah ini, bukan sebagai narasi masa lalu, melainkan sebagai seruan yang hidup, yang bergema di relung jiwa kita hari ini. Maria dan para perempuan ini bukan tokoh-tokoh yang lelet jalannya, menangis pasif di pinggir jalan. Tidak. Mereka adalah pejuang rohani, yang dengan kesetiaan dan kekuatan luar biasa, memilih untuk tinggal ketika yang lain lari, untuk mencintai ketika dunia memilih membenci, untuk percaya ketika harapan tampak sirna.

Kesetiaan: Cinta yang Tak Pernah Luntur

Bayangkan Maria, Bunda yang Berduka, yang dulu berkata, "Jadilah padaku menurut kehendak-Mu" (Lukas 1:38). Kata-kata itu bukan sekadar ucapan di masa muda yang penuh semangat; itu adalah janji seumur hidup. Di kaki salib, ketika pedang duka yang dinubuatkan Simeon menikam jiwanya (Lukas 2:35), Maria tidak mengeluh, tidak memberontak. Ia berdiri, dengan hati yang patah namun utuh dalam iman. Kesetiaannya adalah nyanyian sunyi yang mengguncang langit: "Aku tetap milik-Mu, ya Allah, meski jalan-Mu penuh misteri."

Para perempuan lain, seperti Maria Magdalena, juga menunjukkan kesetiaan yang tak kalah heroik. Magdalena, yang pernah tersesat dalam dosa, kini menjadi murid yang tak gentar. Ia tidak hanya mengikuti Yesus di saat mujizat-mujizat gemilang, tetapi juga di saat salib menjadi satu-satunya trofi. Bersama perempuan-perempuan lain, ia berjalan di belakang Yesus yang tersandung, mendengar cemoohan massa, dan menyaksikan kebrutalan prajurit Romawi. Mereka tidak punya kuasa untuk menghentikan eksekusi, tetapi mereka punya kuasa untuk tetap ada, untuk mencintai hingga akhir.

Bukankah ini pelajaran bagi kita? Di zaman ketika kesetiaan sering kali diukur dengan keuntungan pribadi, Maria dan para perempuan mengajarkan bahwa cinta sejati adalah tetap tinggal, bahkan ketika semua logika dunia mengatakan, "Pergi!" Mereka mengingatkan kita bahwa kesetiaan bukanlah soal keadaan yang nyaman, tetapi soal hati yang memilih untuk setia, apa pun harganya.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Kekuatan: Iman yang Tak Tergoyahkan

Jangan salah sangka, kehadiran Maria dan para perempuan di Jalan Salib bukan tanda kelemahan. Tangisan mereka bukan isak tangis keputusasaan, melainkan bahasa hati yang merangkul penderitaan demi kasih. Kekuatan mereka terletak pada iman yang tak tergoyahkan, yang mampu menatap salib bukan sebagai akhir, tetapi sebagai permulaan kemenangan.

Maria, sebagai Hawa Baru, adalah ikon kekuatan rohani. Ia tidak hanya ibu Yesus dalam daging, tetapi juga ibu umat dalam iman. Ketika Yesus berkata, "Ibu, inilah anakmu," dan kepada Yohanes, "Inilah ibumu" (Yohanes 19:26-27), Maria menerima tugas baru di tengah duka: menjadi ibu bagi kita semua. Dalam kepedihan, ia tidak menutup hati, tetapi membukanya lebih lebar untuk merangkul kemanusiaan. Itulah kekuatan sejati: mencintai di tengah luka, mempercayai rencana Allah di tengah kegelapan.

Para perempuan lain pun menunjukkan kekuatan yang sama. Mereka tidak sekadar menangis; mereka berjalan, mengikuti, menyaksikan, dan kelak menjadi pembawa kabar pertama tentang kebangkitan (Yohanes 20:1-18). Dalam budaya yang sering meremehkan suara perempuan, mereka adalah saksi utama misteri Paskah. Kekuatan mereka bukan pada pedang atau otot, tetapi pada hati yang berani, yang mampu menanggung salib dan tetap berharap pada kebangkitan.

Seruan untuk Hari Ini

Di tahun 2025, ketika dunia kita dirundung krisis -dari perang hingga polarisasi, dari ketidakadilan hingga krisis iman- Maria dan para perempuan di Jalan Salib mengundang kita untuk merenung: di mana posisi kita? Apakah kita seperti mereka, yang setia mendampingi Yesus dalam penderitaan-Nya, yang tampak pada wajah mereka yang menderita di sekitar kita? Ataukah kita seperti kerumunan yang hanya menonton dari kejauhan, atau lebih buruk, seperti mereka yang lari ketika salib terasa terlalu berat?

Kesetiaan dan kekuatan Maria serta para perempuan bukanlah dongeng suci yang jauh dari jangkauan. Itu adalah panggilan nyata untuk kita: untuk tetap mencintai meski dunia penuh kebencian, untuk tetap beriman meski hidup penuh tanda tanya, untuk tetap berdiri meski salib kehidupan terasa menghancurkan. Mereka mengajarkan bahwa di bawah bayang salib, kita tidak sendiri. Ada Maria, ada para perempuan, dan di atas segalanya, ada Yesus, yang mengubah penderitaan menjadi penebusan, dan kematian menjadi kehidupan.

Maka, marilah kita berjalan bersama mereka, dengan hati yang setia dan jiwa yang kuat, menuju salib yang menjadi gerbang kebangkitan. Sebab, seperti yang pernah dikatakan oleh seorang bijak, "Di bawah salib, kita belajar bahwa cinta sejati tidak pernah kalah, dan iman sejati selalu bangkit."

Selamat merenungkan Jalan Salib, dan semoga kita menemukan kekuatan untuk setia hingga akhir.

Apakah ini yang menginspirasi RA Kartini? Nantikan ulasannya tanggal 21 April 2025 saat merayakan Hari Kartini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun