Pendidikan adalah hak dasar setiap anak, dan sangat penting untuk masa depan mereka dan masa depan Sumba. Dengan mengatasi faktor-faktor yang menghambat akses pendidikan, kita dapat membantu anak-anak Sumba meraih potensi mereka dan membangun masa depan yang lebih baik. Sehingga pada UUD NKRI 1945 Pasal 31 ayat 1 berbunyi bahwa "Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan". Atas dasar peraturan perundang-undangan tersebut, pendidikan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun, penting untuk diingat bahwa hak atas pendidikan tidak hanya berkisar pada penyediaan akses fisik ke sekolah. Kualitas pendidikan yang diberikan juga merupakan aspek yang tak kalah penting. Pendidikan yang baik harus membekali anak dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk berkontribusi dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk menjamin hak pendidikan anak-anak di Sumba, kita tidak hanya perlu membuka akses pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa pendidikan yang diterima berkualitas tinggi, relevan, dan mampu memberdayakan mereka untuk menghadapi tantangan dunia yang terus berubah. Ini adalah tantangan yang memerlukan kolaborasi dari semua pihak -pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta- untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan efektif.
Menjaga Kesetimbangan Antara Pelestarian Budaya dan Pendidikan
Konflik antara budaya lokal dan pendidikan di Sumba adalah isu yang sangat kompleks dan memerlukan perhatian serius. Masyarakat Sumba, dengan kekayaan adat istiadat, bahasa, dan kepercayaan yang mendalam, sering kali menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan pelestarian budaya dengan kemajuan pendidikan.
Tradisi yang telah berlangsung lama seringkali menempatkan pendidikan sebagai prioritas kedua, terutama ketika keluarga terpaksa menghadapi beban ekonomi akibat kewajiban adat yang mengikat. Dalam situasi ini, anak-anak sering terpaksa menghentikan pendidikan mereka atau tidak melanjutkannya demi membantu keluarga melunasi utang atau berpartisipasi dalam acara adat yang penting.
Akibatnya, masa depan mereka menjadi terancam, dan potensi mereka tak terwujud, sehingga menciptakan dilema yang mendalam antara penguatan identitas budaya dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Salah satu faktor utama yang memperparah masalah pendidikan di Sumba adalah kemiskinan. Biaya pendidikan, seperti uang sekolah, seragam, dan buku, sering kali menjadi beban berat bagi keluarga-keluarga miskin, terutama di daerah pedesaan yang terpencil. Selain itu, infrastruktur pendidikan yang kurang memadai, jarak sekolah yang jauh, dan rendahnya kualitas pengajaran semakin memperburuk keadaan.
Di beberapa komunitas, kesadaran akan pentingnya pendidikan masih tergolong rendah; pendidikan seringkali tidak dianggap sebagai investasi untuk masa depan anak-anak, tetapi lebih sebagai beban tambahan yang menyulitkan keluarga.
Dominasi budaya lokal juga menjadi penghambat signifikan bagi akses pendidikan. Banyak acara adat yang memerlukan biaya besar dan partisipasi aktif dari seluruh anggota keluarga, sehingga memaksa anak-anak untuk meninggalkan sekolah demi memenuhi kewajiban tersebut. Kewajiban adat dan beban ekonomi yang terkait dengan tradisi-tradisi ini menciptakan siklus yang sulit dipatahkan, di mana pendidikan tidak menjadi prioritas utama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Dampaknya, banyak anak hanya mampu menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMA, dan kemudian memilih untuk bekerja atau merantau untuk membantu perekonomian keluarga. Bahkan, terdapat anak-anak yang sama sekali tidak mengenyam pendidikan formal, karena mereka lebih difokuskan untuk mengikuti acara adat yang dianggap lebih penting dalam konteks budaya mereka. Kondisi ini mengkhawatirkan, karena berpotensi menghambat perkembangan generasi masa depan dan mempertahankan siklus ketidakberdayaan dalam masyarakat.