Urban Farming: Solusi Nyata untuk Krisis Pangan di Kota Besar?
 Dari atap rumah hingga pekarangan sempit, urban farming membuktikan bahwa solusi krisis pangan bisa dimulai dari langkah kecil.
Di tengah lonjakan harga pangan saat hari raya -seperti Natal, Idul Fitri, atau Tahun Baru-Â urban farming muncul sebagai solusi yang semakin relevan. Ketika harga cabai melambung hingga 300% atau telur menjadi langka, warga kota mulai bertanya: bisakah bercocok tanam di lahan sempit menjadi jawaban? Praktik pertanian perkotaan ini tidak hanya menawarkan kemandirian pangan, tetapi juga mengurangi ketergantungan pada pasokan dari luar kota yang rentan inflasi. Namun, seberapa efektif urban farming menghadapi krisis pangan yang kian mendesak?
Urban Farming: Lebih dari Sekadar Tren
Urban farming bukan sekadar gaya hidup, melainkan gerakan untuk mengatasi kerentanan pangan di perkotaan. Dengan memanfaatkan atap gedung, balkon, atau lahan kosong, masyarakat bisa menanam sayuran, buah, bahkan beternak ikan secara mini. Teknologi seperti hidroponik dan aquaponik memungkinkan produksi pangan tanpa tanah, cocok untuk kota padat seperti Jakarta atau Surabaya.
Data FAO menunjukkan, 800 juta orang di dunia telah mengadopsi urban farming, menyumbang 15-20% pasokan pangan global. Di Indonesia, Kementerian Pertanian mencatat lonjakan minat selama pandemi, dengan 5.000 lebih komunitas urban farming di Jakarta (Kompas, 2021). Saat harga pangan melonjak -seperti saat Lebaran 2023 ketika harga daging sapi naik 25% (BPS)-urban farming bisa menjadi "penyelamat" untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tantangan: Lahan Sempit, Modal Besar, dan Polusi
Meski menjanjikan, urban farming menghadapi tantangan nyata. Pertama, lahan di kota besar sangat terbatas dan mahal. Di Jakarta, harga tanah mencapai Rp 50 juta/m (Kontan, 2022), menyulitkan pembukaan kebun skala besar. Kedua, biaya teknologi seperti hidroponik atau panel surya bisa mencapai puluhan juta rupiah, menjadi penghalang bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Ketiga, polusi udara dan air di perkotaan mengancam kualitas tanaman. Studi ITB (2023) menemukan bahwa sayuran yang ditanam di pinggir jalan raya Jakarta mengandung timbal 2x lebih tinggi dari ambang batas aman. Tanpa filter udara atau pestisida organik, hasil panen justru berisiko bagi kesehatan.
Peluang: Tekan Inflasi, Bangun Ekonomi Lokal
Di balik tantangan, urban farming menawarkan peluang strategis, terutama saat harga pangan melonjak. Pertama, mengurangi ketergantungan pada pasokan luar kota. Singapura, misalnya, berhasil memenuhi 30% kebutuhan sayurnya melalui pertanian vertikal (Channel News Asia, 2023). Kedua, menciptakan ekonomi sirkular. Sampah organik diolah jadi kompos, sementara hasil panen dijual ke pasar lokal.
Contoh nyata ada di Bandung, di mana startup Kebun Kumara menghasilkan omzet Rp 300 juta/bulan dari penjualan sayuran urban farming (Kumparan, 2021). Pemerintah juga mulai mendukung melalui program "Kota Hijau", mengalokasikan dana untuk kebun komunitas. Saat Natal atau Idul Fitri -ketika harga bawang dan cabai meroket- kebun urban bisa menjadi "buffer" untuk menstabilkan pasokan.
Krisis Pangan Hari Raya: Perlukah Urban Farming?
Setiap tahun, jelang hari raya, harga pangan selalu naik. Data BPS mencatat, inflasi bahan pangan mencapai 5,8% pada Desember 2022 akibat permintaan tinggi. Urban farming bisa menjadi solusi parsial:
- Kurangi ketergantungan impor:Â 60% bawang putih Indonesia masih impor (Kemendag, 2023). Menanam bawang di pot atau hidroponik bisa memotong rantai pasok panjang.
- Tekan biaya hidup:Â Kelompok urban farming di Depok berhasil memenuhi 40% kebutuhan sayur anggotanya, menghemat Rp 500.000/bulan (Detik, 2022).
Namun, urban farming bukan solusi tunggal. Menurut World Resources Institute (2022), urban farming maksimal hanya memenuhi 10-15% kebutuhan pangan kota. Integrasi dengan kebijakan pemerintah -seperti subsidi bibit atau perluasan lahan- tetap diperlukan.
Menuju Masa Depan: Urban Farming sebagai Solusi Kolaboratif
Urban farming tidak boleh hanya dipandang sebagai kegiatan sampingan atau proyek komunitas semata. Ini adalah investasi nyata untuk membangun ketahanan pangan perkotaan yang berkelanjutan. Terutama di saat-saat kritis -seperti pandemi atau menjelang hari raya ketika harga bahan pokok melonjak- kebun-kebun kota bisa berfungsi sebagai "lumbung darurat" yang menyediakan akses pangan segar bagi warga. Namun, untuk mewujudkan potensi ini secara maksimal, diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak dengan langkah-langkah konkret.