Makan Gratis atau Pendidikan Gratis? Siapa Takut, yang Penting Perut Kenyang Dulu!
Bayangkan sebuah dunia di mana anak-anak sekolah berdebat sengit tentang apakah lebih penting makan bakso gratis daripada belajar matematika. Ya, ini bukan cerita fiksi ilmiah, melainkan kisah kehidupan di sebuah sekolah pinggiran yang penuh drama, tawa, dan sedikit intrik politik ala anak SD. Di sini, perut kosong bisa jadi dalang utama kerusuhan, dan guru harus jadi wasit antara lapar dan lesu!
Di SD Harapan Bangsa (sebut saja begitu), ada dua kubu besar yang selalu berseteru tiap Senin pagi. Kubu pertama, Perut Kenyang Sejahtera (PKS, mirip partai politik di negara tetangga), dipimpin oleh Udin si penggemar mie instan. Mereka memperjuangkan program makan gratis di sekolah karena motto mereka adalah, "Mana bisa mikir pelajaran kalau perut kosong kayak dompet guru honorer?"
Kubu kedua, Otak Pintar Abadi (OPA), dipimpin oleh Siti si juara kelas yang hobinya menghitung jumlah beras di kotak nasi temannya. Mereka berpendapat bahwa pendidikan harus jadi prioritas utama. "Kalau otak nggak diasah, gimana caranya mikir cara masak bakso sendiri?" ujar Siti dengan nada bijaksana.
Singkat cerita, ketegangan mencapai puncaknya saat rapat wali murid. Kepala sekolah Pak Broto, yang biasanya hanya senyum-senyum tanpa berkomentar -karena gajinya juga belum turun- akhirnya angkat bicara. "Baiklah, hari ini kita putuskan: apakah kita beli meja baru untuk ruang kelas, atau kita bikin program makan gratis pakai anggaran sekolah?"
Tiba-tiba, Bu Sumi, wali murid paling vokal, berdiri sambil menunjuk-nunjuk Pak Broto. "Pak, kalau anak saya lapar, mana bisa dia duduk manis di meja baru?! Beli aja dulu mie instan buat anak-anak!" Seruan itu langsung disambut tepuk tangan meriah dari PKS. Sementara OPA protes keras, "Tapi kalau terus-terusan dikasih makan doang, kapan mereka belajar bikin startup teknologi?!"
Pak Broto garuk-garuk kepala. Akhirnya, ia mengambil keputusan brilian: setidaknya menurut versinya sendiri. "Baik, kita adakan lomba! Siapa yang bisa jawab soal matematika paling banyak, dapet bonus dua porsi bakso."
Lomba pun dimulai. Tapi, seperti biasa, drama tak terelakkan. Udin curang dengan menyogok penjaga kantin supaya memberinya jawaban soal lewat kode di tusuk sate. Sementara Siti, meski pintar, mulai panik karena ternyata soalnya kelewat sulit: "Jika satu piring bakso harganya Rp5.000, berapa piring bakso yang bisa dibeli dengan uang Rp100.000 tapi tetap sisakan ongkos pulang?"
Drama semakin seru ketika tiba-tiba datang inspektur dari dinas pendidikan. Ia marah-marah karena dana sekolah ternyata habis cuma buat beli mie instan dan bumbunya. "Ini namanya bukan pendidikan, tapi proyek dapur umum!" teriaknya. Semua orang terdiam, termasuk Pak Broto yang diam-diam sudah memesan bakso super pedas sebagai bekal rapat esok hari.
Akhirnya, setelah negosiasi panjang, disepakati bahwa sebagian anggaran digunakan untuk program makan bergizi, tapi sisanya dialokasikan untuk melatih anak-anak membuat bakso sendiri agar mandiri. Udin bahagia karena akhirnya bisa makan gratis seumur hidup, sementara Siti puas karena ada pelajaran praktik memasak yang masuk kurikulum.