Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dibongkar untuk Disusun Kembali: Transformasi Spiritual dalam Puasa

29 Maret 2025   17:48 Diperbarui: 29 Maret 2025   17:48 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibongkar untuk Disusun Kembali: Transformasi Spiritual dalam Puasa

Terkadang hidup harus diguncang sepenuhnya agar kita menemukan tempat yang seharusnya. Seperti kata bijak, "Sometimes life has to get completely shaken up and rearranged to relocate us to the place we're meant to be." Tahun ini (sebuah kesempatan langka), ketika umat Katolik menjalani Prapaskah dan umat Muslim memasuki Ramadan hampir bersamaan, kita diajak merenungkan makna transformasi spiritual yang sesungguhnya. Bagaimana kedua tradisi puasa ini membantu kita melepaskan yang lama dan menyambut kehidupan baru?

Puasa Sebagai Proses Pembongkaran Diri

Puasa dalam kedua tradisi ini bukan sekadar ritual fisik, melainkan proses pembongkaran identitas lama. Bagi umat Katolik, Prapaskah adalah masa untuk memeriksa diri, mengakui kelemahan, dan melepaskan kebiasaan buruk yang menjauhkan mereka dari kasih Tuhan. Sementara bagi umat Muslim, Ramadan menjadi momentum untuk membersihkan hati dari dendam, kesombongan, dan nafsu duniawi yang selama ini mengotori jiwa.

Proses ini seringkali terasa tidak nyaman, bahkan menyakitkan. Namun, seperti rumah yang harus dibongkar sebelum dibangun lebih kokoh, jiwa kita pun perlu mengalami dekonstruksi sebelum mencapai bentuk yang lebih baik. Ketika kebiasaan lama, pola pikir usang, dan ketergantungan pada hal-hal duniawi diguncang melalui puasa, barulah ruang kosong tercipta untuk sesuatu yang lebih bermakna.

(Transformasi Spiritual, olahan GemAIBot, dokpri)
(Transformasi Spiritual, olahan GemAIBot, dokpri)

Belajar dari Ketidaknyamanan Spiritual

Seorang teman Muslim bercerita bagaimana di hari-hari awal Ramadan ia selalu merasa kesal dan mudah marah. Namun justru melalui ketidaknyamanan itulah ia menyadari betapa selama ini emosinya mudah terpicu oleh hal sepele. Pengalaman serupa dialami umat Katolik yang selama Prapaskah berjuang melawan kebiasaan buruk; mereka menemukan kekuatan baru justru saat berada di titik terlemah.

Kedua pengalaman ini mengajarkan bahwa transformasi sejati seringkali dimulai dari titik terendah. Seperti biji yang harus pecah di dalam tanah sebelum bertunas, kita pun perlu mengalami "kehancuran" kecil untuk bertumbuh. Puasa menjadi laboratorium hidup di mana kita belajar menerima ketidaknyamanan sebagai bagian dari proses menjadi versi diri yang lebih baik.

Kepekaan akan kelemahan diri selama masa puasa bisa mendorong dan membantu seseorang mencapai kedalaman spiritual. Karena dengan kepekaan seperti seseorang menjadi lebih rendah hati dalam latihan rohani (puasa, doa dan sedekah) selama 30 dan 40 hari. Reaksi yang cepat untuk mengatasi rasa marah dan membebaskan diri dari kebiasaan buruk, membawa ketidaknyamanan menjadi kenyamanan spiritual. Itulah pencapaian tertinggi selama masa puasa (yang jika dibahasakan secara sederhana dipahami sebagai kesadaran akan dosa dan siap berubah di hadapan Allah).

Temukan Tempat Baru yang Disediakan Tuhan

Setelah melewati proses pembongkaran diri, baik Prapaskah maupun Ramadan mengajak kita untuk menyambut kehidupan baru. Bagi umat Katolik, ini terwujud dalam sukacita Paskah; bagi Muslim, dalam kemenangan Idul Fitri. Keduanya simbol bahwa setelah periode pergumulan, selalu ada sukacita dan pembaruan yang menanti.

Kita seringkali baru bisa menghargai tempat baru yang Tuhan sediakan setelah melalui proses penyulingan melalui puasa. Tempat baru itu mungkin bukan lokasi fisik, melainkan kondisi spiritual yang lebih matang, hubungan yang lebih bermakna, atau pemahaman diri yang lebih mendalam. Puasa mengajarkan bahwa setiap guncangan hidup, seberat apapun, pada akhirnya membawa kita tepat ke tempat dimana kita seharusnya berada.

Penutup: Percayalah pada Proses Ilahi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun