Kenangan Berbuka Puasa di Rumah Teman: Persahabatan yang Menghangatkan Hati di Era 80-an
Di balik hangatnya senja Ramadan, tersimpan kenangan manis tentang persahabatan masa kecil yang tak terlupakan. Saat berbuka puasa bersama teman dan keluarganya di era 1980-an di kaki Gunung Ebulobo, Nagekeo, NTT, menjadi momen yang selalu dirindukan. Sebagai pegawai pencatat keaktifan gunung berapi, keluarga Om Ibrahim bersama seorang putri dan seorang putra (yang menjadi teman kelas saya) keluarga ini begitu bagi pada kami. Mengingat mereka mengingatkan saya akan sebuah cerita tentang kebersamaan, keikhlasan, dan doa yang terus mengalir meski waktu telah memisahkan.
Ramadan selalu membawa kenangan tersendiri. Bagi saya, bulan suci ini tidak hanya tentang ibadah dan menahan diri, tetapi juga tentang persahabatan yang terjalin erat di masa kecil. Tahun 1980-an, saat saya masih duduk di bangku sekolah dasar, ada satu keluarga yang begitu berarti dalam hidup saya. Mereka adalah teman masa kecil saya dan keluarganya, yang selalu menyambut saya dengan hangat setiap kali saya menginap di rumah mereka selama Ramadan.
Setiap kali bulan puasa tiba, saya sering menghabiskan malam di rumah teman saya itu. Rumahnya sederhana, namun penuh dengan kehangatan dan keramahan. Kebiasaan kami selalu sama: bangun sebelum subuh untuk sahur bersama. Meski saya sudah makan sahur, ibu teman saya selalu menyiapkan bekal untuk saya bawa ke sekolah. Sedangkan teman saya dan kakaknya memilih untuk menunggu waktu berbuka di senja hari. Saat azan Maghrib berkumandang, kami pun duduk bersama di meja makan, menikmati hidangan berbuka yang sederhana namun penuh makna.
Momen berbuka puasa di rumah mereka selalu istimewa. Ada ketupat, sayur lodeh, dan tak lupa kurma sebagai pembuka. Suasana kebersamaan itu begitu membekas dalam ingatan. Saya masih bisa merasakan betapa nikmatnya menyantap hidangan itu setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Bukan hanya makanan yang membuat momen itu spesial, tetapi juga canda tawa dan cerita-cerita kecil yang kami bagi. Teman saya dan kakaknya selalu bercerita tentang kegiatan mereka di sekolah atau rencana mereka setelah Ramadan. Saya pun merasa seperti bagian dari keluarga mereka.
Selama sebulan penuh, biasanya saya menginap di rumah mereka sekitar 3-4 kali. Setiap kali datang, saya selalu diperlakukan dengan istimewa. Ibu teman saya sering mengatakan, "Kamu seperti anak kedua saya." Kata-kata itu begitu menghangatkan hati. Saya merasa diterima dengan tulus, bukan sekadar sebagai tamu, tetapi sebagai bagian dari keluarga.
Namun, waktu terus berjalan. Sejak tahun 1982, saya belum pernah lagi bertemu dengan keluarga baik hati itu. Hidup membawa kami ke jalan yang berbeda. Saya sering membayangkan, pasti teman saya itu sekarang sudah memiliki anak dan cucu. Meski begitu, kenangan indah tentang Ramadan di rumah mereka tetap hidup dalam hati saya. Setiap kali bulan puasa tiba, saya selalu teringat dan mendoakan mereka. Semoga keluarga itu selalu diberkahi dan bahagia.
Ramadan memang bulan yang penuh makna. Selain sebagai waktu untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, bulan ini juga mengajarkan kita tentang arti kebersamaan dan keikhlasan. Persahabatan saya dengan teman masa kecil itu adalah salah satu hikmah terindah yang saya dapatkan dari Ramadan. Meski kami sudah lama tidak bertemu, doa dan kenangan manis itu tetap abadi.
Selamat berpuasa, saudaraku. Semoga Ramadan tahun ini membawa berkah dan kebahagiaan bagi kita semua. Dan untuk teman masa kecil saya itu, terima kasih atas kenangan indah yang tak pernah terlupakan.
***