Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pergantian UN ke TKA, Antara Harapan dan Realita dalam Sistem Pendidikan Indonesia

4 Maret 2025   12:30 Diperbarui: 5 Maret 2025   04:45 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi--Siswa SMA Darul Ulum I Uggulan mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) hari pertama di Rejoso, Kecamata Peterogan, Jombang, Jawa Timur, Senin (1/4/2019). (ANTARA FOTO/SYAIFUL ARIF)

Sebagai orang tua murid yang juga seorang guru, perubahan format Ujian Nasional (UN) menjadi Tes Kompetensi Akademik (TKA) justru menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Meski diharapkan dapat mengurangi beban psikologis siswa, banyak yang mempertanyakan efektivitas dan relevansi TKA dalam mengevaluasi pemerataan pendidikan. Apakah perubahan ini benar-benar solutif atau hanya sekadar ganti baju sama seperti kurikulum yang terkesan seperti proyek?

(olahan qwen 2.5 max)
(olahan qwen 2.5 max)

Dari UN ke TKA: Perubahan Nama atau Esensi?

Sejak Indonesia merdeka, sistem pendidikan kita terus berganti wajah. Hampir setiap menteri pendidikan memiliki program unggulan yang dianggap mampu memperbaiki kualitas pendidikan. Namun, perubahan yang terjadi seringkali hanya bersifat kosmetik, tanpa menyentuh akar masalah. 

Pergantian UN menjadi TKA adalah salah satu contohnya. Meski dianggap sebagai langkah progresif, banyak yang mempertanyakan apakah perubahan ini benar-benar membawa perbaikan atau hanya sekadar mengganti nama.

UN selama ini dianggap sebagai momok yang menimbulkan trauma bagi siswa. Tekanan untuk lulus dengan nilai tinggi seringkali membuat siswa stres, bahkan depresi. Namun, dengan diubahnya UN menjadi TKA, apakah tekanan tersebut benar-benar hilang? Atau justru berganti bentuk menjadi beban baru? TKA tetap menguji materi akademik, yang berarti siswa masih harus menghafal dan memahami banyak materi. Pertanyaannya, apakah tes semacam ini mampu mengukur kompetensi siswa secara holistik?

(olahan GemAIBot)
(olahan GemAIBot)

Pengalaman kecil, kami guru pendidikan agama melakukan ujian praktik untuk siswa SMA dan SMK seperti menjadi seorang ustad atau pemimpin jemaat dalam menyampaikan pesan Sabda Tuhan. Ada anak yang sungguh menyiapkannya dengan segenap hati -bukan semata-mata sebagai sebuah tugas demi ujian- sehingga dapat membawakannya dengan baik. 

Ada juga yang asal ada dan bahkan tidak bisa menangkap pesan yang dimaksud oleh guru. Lalu tiba-tiba TPA ini untuk apa kalau siswa saja masih bingung dengan apa yang hendak dilakukannya?

TKA dan Pemerataan Pendidikan: Mampukah Menjadi Alat Evaluasi?

Salah satu tujuan utama perubahan format ujian adalah untuk mengevaluasi pemerataan pendidikan di Indonesia. Namun, apakah TKA dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai tujuan tersebut? 

Mungkin ada banyak pembaca dan penulis Kompasiana seperti saya yang ikut  meragukannya. Pemerataan pendidikan tidak hanya tentang kemampuan akademik, tetapi juga tentang akses terhadap fasilitas, kualitas guru (dan kesejahteraannya), dan kurikulum yang relevan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun