Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ramadan "Menghidupi" Toleransi

29 April 2024   17:44 Diperbarui: 29 April 2024   17:45 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

NB: Tulisan ini sedianya menjadi Refleksi dari perspektif saya sebagai seorang katolik, yang akan ikut dalam topik pilihan kompasiana. Tetapi karena tertunda-tunda akibar bolak balik ke rumah sakit, maka terabaikan dan terlewatkan, tak tersentuh dan dipoles lagi bahasanya. Baru sore ini saya membaca kembali dan merasa siap untuk posting di kompasiana ini. 

Ramadhan telah berakhir dengan kemenangan Idul Iitri yang dirayakan oleh segenap saudaraku umat muslim. Perayaan kemenangan setelah sebulan berkesempatan untuk meningkatkan kesadaran spiritual, memperkuat hubungan dengan Allah, dan memperbaiki diri secara moral dan etis dengan sesama. Ramadhan menjadi bulan penuh rahmat bagi umat Muslim untuk berpuasa dari fajar hingga matahari terbenam, menahan diri dari makanan, minuman, serta aktivitas-aktivitas yang dianggap mengganggu puasa, seperti perilaku buruk atau negatif, salah satunya soal penggunaan sampah plastik.

Ada lima hal (menurut pengamatan saya selama hidup bersama dengan tetangga muslim) yang masih terus hidup meski Ramadhan sudah berakhir ketika Idul Fitri tiba. 

Pertama, Ketaatan kepada Allah. Ramadan mengajarkan ketaatan kepada Allah melalui ketaatan dalam menjalankan ibadah puasa, shalat, dan amal kebajikan lainnya. 

Kedua, kesabaran dan pengendalian diri. Puasa Ramadan mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri dalam menahan lapar, haus, serta dorongan-dorongan negatif lainnya. Ini membantu umat Muslim untuk mengembangkan kekuatan batin dan ketahanan mental. 

Ketiga, kepedulian terhadap sesama. Ramadan mendorong umat Muslim untuk meningkatkan empati dan kepedulian terhadap sesama, khususnya yang kurang beruntung. Memberikan sedekah, bersedekah, dan membantu yang membutuhkan adalah bagian penting dari esensi Ramadan. 

Keempat, peningkatan spiritual. Ramadan merupakan kesempatan untuk memperdalam hubungan spiritual dengan Allah melalui ibadah, pembacaan Al-Qur'an, dan refleksi diri. 

Dan kelima, kehidupan yang penuh syukur. Dengan merasakan sensasi lapar dan haus selama puasa, umat Muslim belajar untuk menghargai nikmat-nikmat yang diberikan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ini memperkuat rasa syukur dan penghargaan terhadap berkah-berkah yang diterima.


Yang menariknya lagi, Ramadhan kali ini berjalan bersama dengan masa prapaskah, masa puasa bagi umat katolik. Sebagai umat katolik di Indonesia, kesempatan yang amat jarang terjadi ini, menjadi moment refleksi tentang hakikat manusia yang bergantung sepenuhnya kepada kehendak Yang Mahakuasa. Dengan menahan rasa lapar dan haus, kita sepenuhnya membiarkan kehendak Allah yang bekerja atas hidup kita, sekaligus membawa kita menjadi insan-insan yang pandai bersyukur termasuk menjadi kebersihan lingkungan dan alam sekitar (mengurangi sampah plastik yang akan mencemari lingkungan yang nantinya akan mencemari kesehatan kita juga).

 

Pengalaman Masa Kecil

Di masa kecil ketika masih kelas 1 SD di Nunukae, Boawae, Nagekeo, saya sering berlibur di rumah Tante (saudara sepupu bapak) di Maukeo (Nagekeo) yang muslim. Mereka mengikuti agama suami (paman) mereka. Saat liburan ke Maukeo atau Pulau Ende menjadi hari yang ditunggu-tunggu, karena saya akan menadapatkan banyak oleh-oleh. Apalagi saya kecil dikenal "jagoan" yang tidak mudah mabuk laut saat numpang kapal motor dari Maukeo ke Pulau Ende atau sebaliknya. Saya dijuluki "Ana ndua" atau anak gunung yang jago laut, padahal belum bisa renang (saya baru bisa renang saat kelas 2 SD di Malapedho, Inerie).

Tanta saya yang lain, (tinggal di Boawae, Nagekeo) yang juga menjadi walibaptis saya, menikah secara muslim dan juga mengikuti suaminya. Almarhum bapak saya pernah berpesan kepada Tanta agar sekali masuk Islam ya harus tetap Islam, jangan main-main. Jadikan agama itu sebagai identitas dirimu dan anak-anakmu (meski di kemudian hari ada beberapa anak tanta saya yang masuk katolik karena pernikahan juga). Kami keluarga besar sudah biasa merayakan keragaman hari raya besar agama baik saat Natal maupun Idul Fitri.

Pengalaman kecil itu menumbuhkan toleransi di dalam keluarga kami. Kalau keluarga Tanta berkunjung ke kampung kami di Nunukae, kami akan menyediakan ayam yang akan dipotong (secara Islam) oleh keluarga Tanta, bahkan mereka dibiarkan memasak sendiri (karena bukan tamu sih, jadi sudah biasa di dapur nenek).

Pengalaman Terkini

Pada kesempatan Ramadan dan kemudian Idul Fitri tahun 2024 ini saya hanya bisa mengikuti dari rumah karena habis mengalami kecelakaan. Tiap tahun biasanya beranjangsana di lingkungan RT tempat kami tinggal, kami suka mengunjungi beberapa keluarga yang sudah menganggap kami bagian dari keluarga mereka. Kalau tidak di hari lebaran pertama ya kami datang di hari lebaran kedua. Dan kedatangan kami selalu ditunggu, terlebih untuk kedua anak kami menjadi tamu istimewa di rumah mereka. Maklum sejak anak-anak bayi keluarga inilah yang selalu dekat dan menolong kami. Kini, kedua anak kami sudah SD dan SMK, tetap dianggap sebagai anak mereka. Dari pengalaman ini, bagi kami Lebaran telah meretas sekat agama dan suku.

Untuk menutup refleksi tentang Semangat Ramadan yang Menghidupi Toleransi, saya mencoba menuliskan beberapa refleksi umum yang mungkin dapat diterapkan untuk mendorong hidup bersama yang lebih toleran: 

Pertama, empati dan penghargaan. Ramadan adalah kesempatan bagi kita untuk berempati dengan mereka yang kurang beruntung. Menahan lapar dan dahaga sepanjang hari mungkin telah memberi kita wawasan tentang bagaimana rasanya hidup tanpa kecukupan. Pengalaman ini dapat mendorong kita untuk lebih menghargai apa yang kita miliki dan lebih toleran terhadap mereka yang berbeda dari kita.

Kedua, kesabaran dan pengendalian diri. Berpuasa selama Ramadan tidak hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tetapi juga tentang mengendalikan emosi dan tindakan kita. Pengalaman ini dapat mengajarkan kita untuk lebih sabar dalam menghadapi perbedaan dan konflik, dan lebih toleran terhadap pandangan dan pendapat orang lain, lebih humanis menerima perbedaan sebagai keniscayaan dan kekayaan bangsa ini.

Ketiga, kebersamaan dan solidaritas. Berbuka puasa bersama dan Sholat Tarawih berjamaah mungkin telah menguatkan rasa kebersamaan dan solidaritas di antara jemaat. Pengalaman ini dapat menjadi pengingat tentang pentingnya toleransi dan kerja sama dalam membangun masyarakat yang damai dan harmonis. Di lingkungan saya tinggal, kami ada kebiasaan kenduri bersama. Meski seluruh rangkaian doa dilakukan secara Islam, kami yang berbeda tetap hadir dalam hening sembari mendukung tuan rumah yang punya hajatan dengan doa dan cara kami sendiri. Inilah gambaran Indonesia yang toleran.

Keempat, introspeksi dan perubahan. Ramadan merupakan waktu yang baik untuk introspeksi dan perubahan. Mungkin kita telah menyadari beberapa kebiasaan atau sikap yang perlu diubah untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pengalaman ini dapat mendorong kita untuk lebih toleran dan terbuka terhadap perubahan, baik dalam diri sendiri maupun orang lain. Kita menjadi lebih toleran terhadap sesama karena kita sudah belajar untuk toleran terhadap diri sendiri.


Ramadhan boleh saja usai, tetapi semangatnya terus menguatkan kita untuk hidup bersesama dan bertetangga dengan yang lain secara lebih tulus dan jujur, apalagi kita sama-sama dari rahim Ibu Pertiwi, Indonesia. Perbedaan hanyalah salah satu cara kita mensyukuri semua berkat Allah yang dilimpahkan kepada kita sebagai sesama warga bangsa, Indonesia. Kita patut berbangga sebagai satu warga negara: Indonesia. 

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun