Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Sejarah Mengajarkanku

24 April 2020   10:37 Diperbarui: 24 April 2020   11:00 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejauh ini fenomena bangsa dalam penanganan covid-19 amat sangat berarti, hanya tak begitu realistis diterima oleh begitu banyak public dewasa ini. Adanya kesenjangan ekonomi dari para pekerja, serta akses-akses yang dipaksa harus beroperasi karena memang menjadi sebuah jantung pergerakan ekonomi, memaksa tiap-tiap manusia yang tengah bergerilya mencari nafkah menjadi imbas dari ke-simpang-siur-an dari seluruh keputusan yang jadi pergolakan akhir-akhir ini. 

Pada setiap lini kehidupan bangsa kian carut marut. Dari setiap pimpinan direksi menyuarakan hal berbeda pada tiap-tiap keputusan pemerintah pusat. Bahkan semuanya terlihat rancu dan berjalan sendiri-sendiri dengan memprioritaskan target yang harus dipenuhi pada tiap waktunya, lantas apalah daya rakyat jelata yang diminta untuk social distancing, tetapi justru harus memaksakan dirinya untuk bekerja, agar mendapat sesuap nasi pada bilik kehidupan nan serba ambigu ini?

Falsafah tentang Indonesia

Dahulu dalam pendidikan kewarganegaraan banyak pemaparan tentang semangat solider, toleransi, serta gotong royong yang seharusnya dibangun diantara sesama manusia sebagai sebuah bangsa. Tentunya ketika pendidikan kewarganegaraan memaparkan semangat solider, toleransi, serta gotong royong itu dalam pemaparan ditiap kelasnya, justru mata pelajaran sejarah menjadi rujukan untuk melihat contoh-contoh bijak dari pendiri bangsa ini dalam mengartikan semangat membangun bangsa yang hendaknya koheren di tiap sisinya. 

Salah satu cerita sejarah adalah pendirian sebuah candi atau bangunan suci pada masa lalu dilandasi oleh suatu kepercayaan bahwa pekerjaan itu merupakan tindakan mulia yang dapat memberikan umur panjang. Pekerjaan membangun candi juga merupakan tindakan menuju pencerahan dalam . Pada saat pembangunan candi, semua orang terlibat bahkan rakyat biasa. Hal ini dapat diketahui dari isi prasasti Manjusrighra yang ditemukan di Kompleks Candi Sewu. Salah satu kalimat berbunyi "Candi Sewu (Manjusrighra) merupakan persembahan mulia raja yang pembangunannya dilakukan secara bergotong royong". 

Cerita tentang kebersamaan dalam pembangunan sebuah candi juga terdapat di Candi Plaosan. Pada beberapa candi perwarannya terdapat beberapa prasasti singkat yang isinya menyebutkan bahwa candi-candi ini merupakan sumbangan dari pejabat-pejabat kerajaan. Semangat kegotongroyongan yang ditunjukkan dengan keikutsertaan masyarakat dan pejabat-pejabat dalam membangun sebuah candi didasari oleh jiwa pengabdian kepada agama dan rajannya sebagai wakil dewa di dunia. 

Pengabdian rakyat kepada rajanya merupakan perwujudan hak istimewa raja untuk mengerahkan tenaga kerja dan hak untuk memperoleh sebagian dari penghasilan dari masyarakat. Perayaan bersama akan dilakukan jika candi ini selesai dibangun. Raja bersama rakyatnya bergembira untuk keberhasilan mereka. Bagi masyarakat biasa, mereka akan bangga karena mereka dapat mengabdi pada agamannya dan rajanya. Sifat-sifat luhur ini masih kental di masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya sebagai warisan karakter masa lalu.[1]

Tak hanya semangat gotong royong, tetapi justru nilai bangsa ini pun terpapar begitu luasnya dalam pemikiran Nicolaus Diyarkara, tentang arti penting dari berbagi sebagai sebuah bangsa. Tema tentang "memasyarakat-menegara" dalam konteks homo homini socius memiliki interelasi yang kuat dengan kepentingan Indonesia.

Hal serupa terjadi pada tema "sosialitas sebagai eksistensial", karena di dalamnya memuat perbincangan mengenai "sosialitas dalam alam Indonesia" bahwa dalam catatannya mengatakan "romantik timbul dalam revolusi fisik yang menghadapi bahaya kongkret dari musuh, itu mudah dimengerti. Tetapi bagaimana sekarang? Sekarangpun romantik revolusi hidup terus. Sebab tujuan pokok revolusi belum tercapai. Tujuan untuk membuat rakyat sejahtera rohani jasmani belum terwujud. Kesetiaan kepada tujuan revolusi membangkitkan unsur-unsur romantik....Romantik jangan terlalu dicari lagi pada perjuangan bersenjata...., tetapi pada perjuangan mewujudkan tujuan revolusi, yaitu membangun masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila". [2]

Sesungguhnya, pemaparan dua ide diatas kiranya cukup menjadi tolak ukur kita di tengah pandemi. Sebab bila memaparkan suatu masalah kajian yang sering menjadi rujukan tentunya adalah pemerintah dan seluruh aparatnya, hasil akhir bangsa kita kian menjadi seorang penuntut yang sangat belum disiplin dalam bernalar. 

Karakter masa lalu sebagaimana yang tersampaikan dalam dua argumen diatas menandakan bahwa hal ikhwal bangsa ini sungguh telah diramalkan oleh kebanyakan pemikir bangsa terlebih khusus apa yang termaktub dalam Driyarkara pada catatannya di Warung Pojok majalah Praba secara jelas dinyatakan bahwa:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun