Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memanggil Nurani ke Dalam Empati

30 Maret 2020   21:33 Diperbarui: 30 Maret 2020   22:08 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Manusia dilahirkan seorang diri, namun ketika tumbuh dan berkembang dalam lingkup yang lebih luas mereka harus hidup bermasyarakat. Berjumpa dengan pelbagai wajah baru, kemajemukan pikiran yang lebih dinamis, serta corak pandangan hidup nan kompleks, meyakini pada keutuhan manusia bahwa seluruh perjumpaan merupakan relasi timbal balik, di mana antar subjek saling memberi reaksi terhadap yang baru serta menata kecenderungan agar memberikan keserasian dengan tindakan-tindakan orang lain. 

Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitkan timbal balik yang saling mempengaruhi dan juga suatu kesadaran untuk saling tolong menolong. 

Kenyataan dan seluruh kompleksitas pengalaman yang mempunyai misterinya tersendiri akan lebih mudah dihadapi, dengan adanya saling melengkapi di antara satu sama lain. 

Pada beberapa hari lalu, saya menonton salah satu tayang di ILC (Indonesia Lawyer Club) yang mengangkat topik utama bertemakan Corona: Simalakama bangsa Kita. Tayangan tersebut memuat sebuah paradigma berpikir nan apik serta pengalaman bertindak yang bijak dan berani, dengan serangkaian artikulasi lugas, membuatku mungkin haruslah publik mengkonsumsi tayangan tersebut, sebagaimana ketika saya menuliskan artikel ini baru ditonton sebanyak 290 ribua-an. 

Kenyataan di Indonesia terkait covid-19 dipaparkan, dan menyulut berbagai macam argument dari masing-masing narasumber, tak terluput pula para kaum marjinal diwakili oleh suara jasa ojek online memberikan pernyataan yang membangkitkan kebajikan tersendiri bahwa sesungguhnya simpati tak cukup tanpa empati. Alasannya apa? Karena empati itu punya wujudnya dan hanya didapat ketika siapapun rela turun untuk membantu yang lemah dan tersingkir.

Selain dari tayangan ILC itu pula, masih banyak terdapat pengalaman-pengalaman bangsa ini dalam mendidik ketajaman empati yang kiranya masih begitu tumpul untuk dihidupi. 

Sebut saja terkait permasalahan bangsa yang seharusnya dapat diselesaikan dengan kekeluargaan (kerukunan umat beragama, toleransi antar sesame berkeyakinan, juga baru-baru ini kaum marjinal dalam wabah corona virus), justru ditanggapi seperti mengelola kasus besar. 

Alhasil, hukum seperti tercampuradukkan di mana bersifat justifikasi terhadap persoalan negara dan bangsa, kini malah mengatur permasalahan pribadi. lalu kemanakah kebajikan bertenggang rasa terhadap sesama manusia? Mungkin baru dapat ditemukan ketika memaknainya di dalam keluarga sebagaimana seruan untuk social distancing demi mencegah Virus Corona ini.

Berkaca terhadap Kesenjangan

Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia, nurani diartikan sebagai perasaan hati yang mendalam. Hal tersebut dapat termaktub dari pelbagai pengalaman kita di dalam relasi. 

Menurut filsuf serta sosilog, Georg Simmel (1858-1918) dalam karyanya tentang teori pertukaran menyatakan bahwa pertukaran sebagai jenis interaksi yang peling murni dan paling maju (bdk. Simmel dalam Ritzer dan Goodman, 2008:187) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun