Mohon tunggu...
Alfi Zahri
Alfi Zahri Mohon Tunggu... Mahasiswa

"I feel like the possibility of all those possibilites being possible is just another possibility that can possibly happen"; mark lee

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Di Balik Gelombang Penolakan: Menyingkap Fakta Kompleks Krisis Rohingya di Indonesia dan Peran IOM

23 September 2025   20:18 Diperbarui: 23 September 2025   20:18 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia kerap menjadi tujuan sementara bagi pengungsi Rohingya yang terdampar di Aceh, meskipun sebenarnya negara ini bukanlah tujuan akhir bagi mereka. Realitasnya, Indonesia menghadapi keterbatasan serius dalam menerima para pengungsi ini. Salah satu alasan utamanya adalah aspek hukum: Indonesia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi maupun Protokol 1967, sehingga tidak memiliki kewajiban hukum internasional untuk menampung pengungsi secara permanen. Ketidakjelasan regulasi nasional mengenai status pengungsi juga membuat pemerintah hanya bersikap pada kerangka kemanusiaan sementara, tanpa komitmen jangka panjang. Penanganan pengungsi masih bergantung pada kerja sama dengan organisasi internasional seperti UNHCR dan IOM.

Selain itu, keterbatasan ekonomi dan sosial juga menjadi alasan penting. Wilayah seperti Aceh yang menjadi lokasi pendaratan pengungsi Rohingya menghadapi keterbatasan infrastruktur, fasilitas publik, dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya stabil. Kehadiran ribuan pengungsi dianggap menambah beban bagi masyarakat lokal, terutama dalam hal kebutuhan pangan, air bersih, kesehatan, dan akomodasi. Tidak jarang penolakan masyarakat terjadi karena mereka merasa terbebani dan khawatir akan munculnya masalah sosial baru.

Di tengah tantangan ini, International Organization for Migration (IOM) hadir dan berperan penting dalam menjembatani kekosongan regulasi serta keterbatasan sumber daya pemerintah Indonesia. IOM mengambil peran kemanusiaan yang konkret dengan menyediakan bantuan langsung bagi pengungsi Rohingya. Program-program yang dilaksanakan meliputi penyediaan kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, serta layanan kesehatan. Selain itu, IOM juga menjalankan program WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) untuk memastikan sanitasi dan kebersihan lingkungan pengungsi tetap terjaga. Dalam kondisi darurat, IOM berperan menyediakan tempat tinggal sementara, mendukung kesehatan mental, dan memberikan dukungan psikososial bagi para pengungsi yang mengalami trauma akibat kekerasan dan perjalanan laut yang penuh risiko.

Tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan dasar, IOM juga berperan dalam pendataan dan registrasi pengungsi. Melalui kerja sama dengan UNHCR, IOM melakukan wawancara untuk memastikan status mereka sebagai pengungsi resmi, sehingga dapat menentukan langkah selanjutnya terkait perlindungan internasional. Peran ini penting mengingat Indonesia tidak memiliki sistem nasional yang memadai untuk menentukan status pengungsi secara mandiri.

Namun, peran IOM bukan tanpa kendala. Ada beberapa alasan yang membuat IOM terlihat gagal atau seolah tidak peduli di mata pengungsi maupun masyarakat. Pertama, keterbatasan dana yang menyebabkan IOM harus mengurangi sebagian layanan penting, misalnya penyediaan air bersih dan sanitasi. Seperti dijelaskan dalam jurnal, "karena keterbatasan dana, IOM telah mengurangi perannya dalam penyediaan layanan WASH ini" (Wibisono, Sari, & Oktaviani, 2024). Kedua, mandat IOM terbatas hanya pada bantuan kemanusiaan praktis. Mereka tidak memiliki kewenangan untuk memberikan status hukum pengungsi atau memaksa negara melakukan repatriasi dan relokasi. Hal ini membuat pengungsi kerap merasa kecewa karena meski kebutuhan dasar terpenuhi, masa depan mereka tetap tidak pasti. Ketiga, IOM gagal memfasilitasi diplomasi antara Indonesia dan Myanmar. Jurnal mencatat bahwa "IOM telah gagal memfasilitasi pertemuan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Myanmar untuk membahas masalah pengungsi Rohingya di Indonesia, khususnya di Aceh" (Wibisono, Sari, & Oktaviani, 2024). Keempat, koordinasi dengan pemerintah lokal juga tidak selalu mulus, sehingga muncul kesan bahwa IOM lambat merespons atau tidak sepenuhnya hadir di lapangan.

Dari sini terlihat jelas bahwa alasan Indonesia tidak bisa sepenuhnya menerima Rohingya bukan karena ketiadaan empati, tetapi karena keterbatasan hukum, ekonomi, dan sosial yang nyata. Dalam situasi seperti ini, peran IOM menjadi sangat vital: mengisi celah dalam penanganan, memastikan kebutuhan dasar terpenuhi, dan mencegah krisis kemanusiaan yang lebih parah di wilayah Aceh. Walau IOM memiliki kelemahan dan keterbatasan, upaya mereka menunjukkan bahwa kerja sama internasional tetap dapat menjadi penyelamat bagi kelompok rentan seperti Rohingya. Namun, tanpa dukungan politik yang lebih kuat dari negara-negara kawasan maupun dunia internasional, peran IOM akan terus terbatas pada aspek kemanusiaan semata, tanpa bisa menyelesaikan akar krisis yang sebenarnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun