Mohon tunggu...
alfisyahrin
alfisyahrin Mohon Tunggu... Rakyat Sipil

“Karena aku cinta pada keberanian hidup”. -Soe Hok Gie

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Huta Siallagan: Jejak Kanibalisme di Tanah Batak

20 Mei 2025   00:20 Diperbarui: 20 Mei 2025   00:20 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batu Parsidangan dan Eksekusi Huta Siallagan. Sumber: Dokumen Pribadi

Huta Siallagan, sebuah desa adat kuno yang terletak di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, merupakan salah satu destinasi wisata budaya yang memikat di kawasan Danau Toba. Desa ini dikenal sebagai tempat tinggal marga Siallagan, keturunan Raja Naimbaton, yang merupakan garis keturunan dari Raja Isumbaon, putra kedua Raja Batak.

Salah satu daya tarik utama di Huta Siallagan adalah Batu Parsidangan, yaitu kumpulan kursi dan meja batu yang digunakan sebagai tempat peradilan adat. Terdapat dua set Batu Parsidangan: yang pertama digunakan untuk musyawarah oleh raja, para tetua, dan datu (pemuka spiritual), sedangkan yang kedua digunakan untuk eksekusi hukuman bagi pelanggar hukum adat. Batu-batu ini diperkirakan berusia lebih dari 200 tahun dan terletak di bawah pohon Hariara yang dianggap sakral oleh masyarakat Batak.

Di batu kedua ini tersimpan cerita yang sangat menarik sekaligus mengerikan. Tempat ini merupakan tempat eksekusi para terdakwah sekaligus menjadi tempat praktik kanibalisme di Tanah Batak. Tetapi, sebelum di eksekusi terdakwah terlebih dahula akan dipersidangkan oleh raja, tetua, dan guru spritual. Jika terdakwa terbukti bersalah dan dianggap sangat membahayakan masyarakat, maka hukumannya bisa mencapai hukuman mati. Sebelum dieksekusi, terdakwah akan dipasung dibawah rumah bolon yang biasanya dijadikan kandang ternak yang dimaksudkan bahwa terdakwah sudah setara dengan hewan.

Setelah dirasa cukup oleh raja, terdakwah akan dieksekusi di batu parsidangan dengan cara perut disayat-sayat dengan pisau, setelah lemas kepala terdakwah dipenggal dan bagian tubuh tertentu terutama jantung dan hati akan dikonsumsi oleh raja dan tetua adat sebagai bentuk simbolis untuk "mengambil kekuatan" si terdakwah. Kemudian kepalanya akan digantung di depan pintu masuk Huta Siallagan sebagai simbol adat, setelah 7 hari kepala dan badan akan dibuang terpisah di Danau Toba agar tidak kembali menyatu.

Meski terdengar mengerikan, para ahli sejarah dan budaya meyakini bahwa praktik kanibalisme di Huta Siallagan bukanlah kebiasaan umum, melainkan bagian dari sistem hukum adat yang sangat terbatas dan hanya dilakukan dalam kasus-kasus ekstrem. Saat ini, praktik tersebut sudah tidak ada lagi dan menjadi bagian dari masa lalu yang dipelajari sebagai sejarah.

Kini, Huta Siallagan justru menjadi destinasi wisata budaya yang ramai dikunjungi. Pemerintah daerah telah melakukan revitalisasi kawasan ini dengan tetap mempertahankan keasliannya. Wisatawan bisa menyaksikan tari Tor-Tor, mencoba pakaian adat Batak, hingga duduk langsung di kursi Batu Parsidangan sambil mendengarkan kisah-kisah dari pemandu lokal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun