Mohon tunggu...
Alfi Nur Lailiyah
Alfi Nur Lailiyah Mohon Tunggu... -

Every story has an end, but in life every ending is just a new beginning

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ayah, Ibu.. Biarkan Aku yang Memilih Cita-citaku

12 November 2011   03:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:46 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah cita-cita terpupuk dari dalam hati, aku percaya akan sebuah pernyataan tersebut yang membawa aku tenggelam di dalam sebuah pertanyaan sederhana, “Aku ingin menjadi apa?”. Sejak aku TK, SD, SMP, dan hingga kini di bangku SMA pertanyaan ini selalu muncul ketika dalam proses perkenalan antara guru dan siswa yang selalu terjadi di awal tahun pelajaran. Selama itulah aku menjawab dengan mantap mengulangi jawaban yang sama di setiap tahunnya. Penulis…

Aku sering mengutarakan keinginanku kepada kedua orang tuaku. Hanya saja, ayahku berkata seperti ini, “Untuk apa kamu sekolah tinggi dengan biaya yang sangat mahal kalo kamu ujung-ujungnya cuma ingin jadi penulis? gajinya berapa sih jadi penulis?” Lucu sekali pernyataan beliau. Apakah ayahku tidak mengenal J.K Rowling yang memiliki kekayaan yang sungguh luar biasa karena menulis? Apakah ayahku tidak ingat akan Andrea Hirata yang novel-novelnya menghiasi rak buku miliknya?

Rasanya sungguh percuma berbicara dengan ayahku. Awalnya kupikir ibuku dapat menyelesaikan masalahku. Ya, beliau bukan hanya menjadi seorang ibunda yang selalu anggun di mataku tetapi juga sahabatku yang membuatku sejuk mendengar perkataannya, selalu hangat di dalam pelukannya tiba-tiba berubah menjadi seorang yang belum pernah mengenalku dan mengetahui inginku. “nanti kalo berumah tangga harus kerja. Itu sudah harga mati!” begitulah katanya. Ucapannya bagai petir menggelegar di gendang telingaku

Aku tak pernah ingat bagaimana awal aku mulai mencintai bidang sastra. yang aku tau hanya hasil tes psikotesku menunjukkan “Literary” selalu menjadi ranking minatku yang pertama.  Bagi kedua orang tuaku, cita-citaku ini tidak akan memberikan gaji atau honor yang tetap, semua akan tergantung dengan kesuksesanku dalam berkarya.  Ya bagi mereka penulis tak pelak seperti pengangguran. Tidak mempunyai pekerjaan tetap dan hanya akan mengharapkan sebuah ide bagus yang sungguh mahal.

Namun tidak untukku! aku tidak pernah membayangkan bagaimana hasil dari proses yang aku kerjakan. aku hanya ingin mencintai proses. bukan hasil yang berupa materiil. Aku tidak mau munafik jika aku juga manusia biasa yang membutuhkan uang untuk kelangsungan hidupku. Tapi bukan juga karena aku ingin “kaya” lantas aku selalu mengejar duniawiku. Lagipula pikiranku akan definisi “kaya” bukan mempunyai mobil, rumah yang mewah dan naik haji  agar mengubah status untuk nama depanku. Tidak! aku hanya ingin kaya akan ilmu dan menikmati proses yang sangat aku cintai. Melihat orang lain bisa mengambil hikmah dari tulisanku adalah gaji yang tidak bisa kau uangkan.  Tidakkah orang tuaku menyadari hal ini?

Kurasa, ibuku sangat khawatir akan masa depanku. Sampai-sampai beliau menetapkan harga mati agar aku jadi wanita karier kelak. Beliau beralasan takut-takut aku dikhianati oleh suamiku  ataupun suamiku mendahuluiku menjumpai sang Illahi (naudzubillah) dan aku tak bisa menghidupi anak-anakku kelak. Bukankah suatu saat aku akan menjadi beliau? yang selalu mematuhi perintah suami dan memanjakan anak-anaknya dengan kasih sayang yang tulus?  Salah satu impianku selain penulis adalah ibu rumah tangga. aku tak pernah berpikir untuk menjadi wanita berkarier karena aku tak ingin meninggalkan profesi wajibku sebagai perempuan. tapi bukan berarti aku mempunyai pikiran dangkal yang bekerja hanya mengulek sambal dan mencuci pakaian. aku pun juga ingin berilmu! dan aku memilih sebagai penulis!

Aku tak pernah ingin menjadi anak durhaka dan pembangkang, aku ingin membahagiakan kedua orang tuaku. Biarkan aku memilih agar aku bisa melakukan kehidupanku dengan ikhlas. Bisa saja aku melakukan bidang tidak aku sukai dengan baik namun aku tidak akan pernah bisa menjadi terbaik karena aku tak bisa mencintai bidang yang lain.

Mungkin kebahagiaan tak terhingga melihat namaku tertera di sebuah buku yang dipajang di rak-rak yang bertuliskan “best seller”. dan juga.. kebahagiaan yang tak ingin aku lewatkan adalah menjalani sisa hidupku bersama keluarga yang aku sungguh cintai.


Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun