Di tengah dinamika ekonomi nasional yang kian kompleks, organisasi massa Islam seperti Muhammadiyah tidak tinggal diam. Di balik layar, sebuah upaya besar sedang dirintis secara perlahan namun pasti: mendirikan bank syariah milik sendiri. Tapi apa yang tampak sebagai "pendirian bank baru" sesungguhnya jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan publik. Di sinilah Tempo melalui kanal YouTube-nya hadir, membongkar proses panjang, motivasi, dan berbagai tantangan dalam rencana besar Muhammadiyah ini.
Dalam sebuah video berjudul "Di Balik Rencana Muhammadiyah Buat Bank Syariah" dalam konten "Jelasin Dong!" yang tayang perdana pada 12 Juli 2025, semua bermula dari sebuah aspirasi lama yang kembali mencuat setelah salah satu petinggi Muhammadiyah batal menjadi komisaris Bank Syariah Indonesia (BSI). Kekecewaan itu justru menjadi bahan bakar baru bagi para kader dan simpatisan Muhammadiyah untuk merealisasikan mimpi: memiliki lembaga keuangan syariah sendiri yang sepenuhnya otonom, profesional, dan berlandaskan prinsip keumatan.
Namun, langkah pertama mereka bukanlah membangun Bank Umum Syariah (BUS) dari nol, melainkan mengoptimalkan jaringan  Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) yang telah ada. Salah satu contohnya adalah konversi BPR Matahari Artadaya milik Universitas Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) menjadi Bank Syariah Matahari. Ini menambah jumlah BPRS yang berafiliasi dengan Muhammadiyah menjadi lebih dari selusin, tersebar di berbagai daerah seperti Ciputat, Jogja, Solo, Semarang, Malang, hingga Sumatera Barat.
Namun, publik sempat salah paham. Banyak yang mengira Muhammadiyah hendak mendirikan bank syariah sekelas BSI. Padahal, sejauh ini yang dilakukan adalah penguatan akar finansial di tingkat mikro, bukan membentuk bank umum baru. Ini penting, karena modal awal untuk mendirikan BUS sangat tinggi, mencapai Rp10 triliun sesuai ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jumlah itu sangat besar, bahkan bagi organisasi sebesar Muhammadiyah.
Maka, strategi yang dipilih adalah bertahap dan berlapis. Salah satu caranya adalah mengonsolidasikan seluruh BPRS yang dimiliki menjadi satu entitas, kemudian meningkatkan statusnya menjadi BUS. Dengan skema ini, Muhammadiyah hanya perlu memenuhi modal inti Rp3 triliun, jauh lebih ringan dibanding mendirikan BUS dari awal.
Namun, masalah baru muncul. Sebagian besar BPRS Muhammadiyah tidak dimiliki langsung oleh PP Muhammadiyah, melainkan oleh amal usaha seperti universitas atau rumah sakit. Masing-masing berdiri sebagai entitas hukum tersendiri, dengan kepemilikan, struktur modal, dan manajemen yang berbeda-beda. Ini membuat proses merger sangat rumit. Muhammadiyah pun meminta waktu tambahan kepada OJK karena batas waktu konsolidasi seluruh BPRS ditetapkan pada tahun 2026.
Dari sisi potensi, Muhammadiyah jelas bukan pemain kecil. Pada tahun 2015 saja, aset amal usaha Muhammadiyah mencapai Rp320 triliun, dengan arus kas tahunan Rp25 triliun. Angka ini melonjak menjadi Rp420 triliun pada 2023. Namun, karena belum terdigitalisasi secara menyeluruh, data keuangan Muhammadiyah belum bisa dimanfaatkan secara strategis. Dana-dana tersebut pun masih tersebar di berbagai bank umum, termasuk BSI dan bank konvensional lainnya.
Usulan menarik pun datang dari ekonom syariah Aris Mufti. Ia menggagas model closed loop economy, di mana semua elemen Muhammadiyah, dari Baitut Maal wa Tamwil (BMT), BPRS, universitas, rumah sakit, hingga ritel seperti Surya Mart dan Mentari Mart, saling menopang satu sama lain secara sistemik. Konsep ini bukan hanya membangun ekonomi internal yang mandiri, tetapi juga menghidupkan nilai ta'awun (saling tolong-menolong) secara nyata.
Namun jalan menuju bank mandiri tak semulus itu. Pengalaman buruk di masa lalu dalam pengelolaan bank membuat Muhammadiyah lebih berhati-hati. Mereka tak ingin terjun ke sektor yang sangat teknis tanpa keahlian yang cukup. Karena itu, strategi mereka adalah learning by doing: mengelola BPRS dengan baik, lalu perlahan naik tingkat ke bank umum syariah.
Di sisi lain, OJK juga punya kepentingan sendiri. Regulator ingin meningkatkan efisiensi dan daya saing perbankan syariah yang selama ini stagnan di kisaran 7% pangsa pasar nasional. Lewat konsolidasi BPRS seperti milik Muhammadiyah, diharapkan muncul kekuatan baru yang bisa menantang dominasi BSI dan memperluas opsi pembiayaan syariah di Indonesia.