Selamat datang di Indonesia, negeri yang tak pernah kehabisan kejutan. Kalau kamu berpikir datang ke kantor polisi adalah jalan menuju keadilan, maka kamu pasti belum baca berita terbaru dari Sumba Barat Daya. Di sana, seorang perempuan muda berinisial MML (25) datang dengan maksud mulia: melaporkan bahwa dirinya diperkosa. Tapi ternyata dia lupa satu hal: di republik ini, kantor polisi kadang lebih menyeramkan dari TKP kejahatan itu sendiri.
Dan begitulah, saat ia datang membawa trauma, Aipda PS--oknum polisi penuh "inisiatif"--malah menyambutnya dengan birahi. Bukannya dicatat laporannya, malah ditambah penderitaannya. Seakan-akan, setelah jadi korban pemerkosaan, dia harus ikut seminar intensif tentang bagaimana rasanya menjadi korban dua kali. Gratis, tanpa pendaftaran. Bahkan dapat bonus: pelecehan seksual langsung dari aparat.
Ya, siapa bilang pelayanan publik itu lambat? Di kasus ini, Aipda PS menunjukkan bahwa "respons cepat" bisa berarti respons syahwat. Efisien dan langsung aksi, bukan dalam menindak pelaku, tapi dalam memperpanjang trauma korban.
Dan tentu saja, seperti biasa, semua baru ramai setelah ada unggahan media sosial, khususnya dalam kasus ini Facebook. Iya, bukan dari rilis resmi Polres, bukan dari rilis Humas, tapi dari jari-jari netizen. Terima kasih, mas mbak Facebookers, Anda semua lebih bisa diandalkan daripada 112 atau SPKT. Di negeri ini, keadilan butuh koneksi internet dan keahlian membikin postingan viral. Polisi akan sibuk kalau postinganmu cukup banyak "likes". Makin banyak "emoji marah," makin cepat penyelidikan internal dibuka. Begitulah SOP keadilan versi Indonesia 5.0.
Lalu kita dengar pernyataan standar: "Kami akan menindak tegas pelaku." Tapi... tunggu. Tegas di sini artinya apa? Mutasi? Diberi tugas jaga parkir? Atau disekolahkan lagi di pelatihan etika, yang ironisnya justru jadi tempat terbaik untuk belajar 'modus baru'? Kita sudah terlalu sering disuguhi pertunjukan sanksi internal yang lebih mirip rekayasa sandiwara. Pelaku menunduk di depan kamera, lalu hilang dari pemberitaan. Entah nyambi di divisi lain atau cuma cuti panjang dengan dalih rehabilitasi mental.
Sementara itu, korban? Jangan terlalu berharap banyak. Dia akan menghadapi pertanyaan seperti "kenapa baru melapor?", "pakaianmu seperti apa waktu itu?", atau yang paling menyebalkan: "kamu yakin dia melecehkanmu?" Karena ya begitulah, di negeri ini logika dibalik: korban harus membuktikan bahwa dia cukup 'suci' untuk layak diperjuangkan. Sedangkan pelaku cukup menyebut "lupa prosedur" dan semua akan dicairkan.
Mari kita lihat lebih jauh soal Aipda PS ini. Barangkali dia menganggap dirinya seperti tokoh utama dalam film laga erotis. "Saya hanya membantu korban merasa nyaman," mungkin begitu pikirnya. Sayangnya, ini bukan Netflix & Chill. Ini pelaporan pemerkosaan. Tapi otak Aipda tampaknya sudah terlalu lama disimpan di laci etika. Atau barangkali memang tidak pernah dimiliki sejak awal.
Seragam cokelat itu mestinya jadi simbol integritas. Tapi belakangan, makin mirip kostum cosplay bagi yang ingin merasa berkuasa. Kalau dulu anak kecil bangga main polisi-polisian, sekarang orang tua khawatir kalau anaknya dekat-dekat Polsek. Bahkan mungkin lebih aman main ke rumah hantu daripada ke kantor polisi. Di rumah hantu, paling ditakut-takuti. Di kantor polisi? Bisa dapat kejutan jasmani.
Lalu kita dihibur lagi dengan jargon abadi: "Ini hanya ulah oknum." Ahh, ya. Oknum. Kata ajaib yang bisa mencuci segala dosa institusi. Polisi menyiksa tahanan? Oknum. Polisi tembak pengunjuk rasa? Oknum. Polisi cabuli korban? Tetap oknum. Lama-lama, kita jadi bertanya: kalau semua buruk itu ulah oknum, yang institusi kerjanya apa? Cuma update IG dan tampil di upacara?
Dan jangan salah, nanti akan ada momen penuh drama. Si pelaku digiring ke ruang sidang etik. Dengan wajah tertunduk, rambut sedikit acak-acakan agar tampak menyesal, dan pengacara yang menyebut dia sedang stres berat. Bahkan bisa jadi nanti ada klaim bahwa dia punya beban kerja tinggi dan trauma masa kecil. Karena di negeri ini, pelaku bisa jadi korban asal punya seragam.