Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menelisik Kemungkinan Strategis Perang Arab-Iran

1 April 2019   12:36 Diperbarui: 1 April 2019   12:53 1031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: mpc-journal.org 

Peningkatan situasi konfliktual di Timur Tengah, terutama semenjak terjadinya Perang Saudara Suriah dan Yaman mempertemukan dua pihak besar, yaitu Iran dan negara-negara Arab pimpinan Arab Saudi. Bipolaritas tersebut semakin tampak karena kedua pihak masing-masing mendukung dua kelompok yang saling berlawanan. Di palagan Suriah, Iran terang-terangan mendukung Bashar Al-Assad dengan mengirim pasukan Sepahnya, sementara negara-negara Arab (kecuali Irak) condong pada kelompok oposisi. Sementara kelompok oposisi terdesak, negara-negara Arab mulai menjadikan Iran sebagai musuh bersama.

Hal serupa terjadi pula di Yaman, di mana kelompok pemberontak Al-Houthi/Ansar Al-Islam yang diduga didukung Iran melakukan pendudukan Ibu Kota Sana'a sekaligus memaksa Presiden Abd Rabbu Mansur Hadi mengungsi ke Arab Saudi. Arab Saudi lantas menyalahkan Iran dan mulai melakukan serangan udara dengan tujuan membasmi pemberontak tersebut. Langkah Saudi lantas diikuti oleh negara-negara Arab lain yang mendukung Saudi, seperti Uni Emirat, Mesir, Maroko, dan Bahrain. Perang ini juga meningkatkan sentimen antara kedua pihak sekaligus membuat hubungan keduanya semakin panas.

Sumber: CNNIndonesia.com
Sumber: CNNIndonesia.com

Dengan dua peristiwa di atas, sudah cukup menjadi dasar perkiraan bahwa di masa depan, negara-negara Arab dan Iran akan bertemu dalam palagan pertempuran besar. Apalagi, dalam sejarah pernah terjadi perang Irak-Iran (1980-1988) yang mempertemukan kedua pihak. Kemungkinan tersebut didukung pula oleh perbedaan agama, yaitu ajaran Islam yang dianut kedua pihak. Negara-negara Arab didominasi Sunni, sementara Iran menganut Syiah. Perlu diketahui bahwa kedua aliran mengalami hubungan konfliktual sejak masa Khalifah Ali bin Abi Thalib, lebih dari 1300 tahun yang lalu.

Saya ingin mengajak pembaca sekalian berimajinasi mengenai strategi perang antara Arab dan Iran di masa depan.

Negara-negara Arab kemungkinan akan membentuk koalisi (yang agaknya sudah mulai terlihat sejak konflik-konflik terkini di Timur Tengah). Arab Saudi akan menjadi pemimpinnya, notabene karena Saudi memiliki kekuatan militer yang paling memadai di antara sekutu-sekutunya. Mesir juga akan menjadi pemain penting dalam perang ini. 

Menurut International Institute for Strategic Studies (IISS), pada 2018 Mesir memiliki personel militer dengan total hampir satu juta jiwa, termasuk tentara wajib militer dan cadangan. Didukung pula oleh anggaran militer yang fantastis dan alutsista modern asal AS dan Rusia, ditambah pengalaman tempur militer Mesir melawan Israel di masa silam.

Negara yang juga penting dalam koalisi ini adalah Uni Emirat Arab, yang merupakan sekutu terdekat dari Arab Saudi. Uni Emirat Arab juga memiliki alutsista yang modern meskipun terdapat kekurangan, yaitu jumlah personel yang belum memadai (pasukan aktif sejumlah 65.000 personel). Namun, jumlah tersebut dapat ditutupi oleh kekuatan dari negara lain, seperti Yordania dan Maroko yang lebih besar. 

Secara keseluruhan, dengan melihat situasi geopolitik saat ini, negara-negara yang kemungkinan terlibat dalam koalisi antara lain Aljazair, Arab Saudi, Maroko, Uni Emirat Arab, Bahrain, Yordania, Kuwait, Oman, dan Tunisia. Dua negara Arab lain, Libya dan Yaman berpeluang besar tak terlibat karena sedang berfokus pada pembangunan kembali pascaperang saudara.

Sementara di pihak Iran, negara-negara yang terlibat akan lebih sedikit. Selain Iran sendiri, Suriah akan menjadi pemain utama. Negara tersebut memiliki hubungan yang dekat dengan Iran, terutama sejak pemerintahan Bashar Al-Assad. Iran juga menyatakan dukungannya pada Assad pada perang saudara yang kini masih terus berlanjut. Dilihat dari kekuatan militernya, Suriah cukup memadai. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun