Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Senjata Pembunuh Otonom, Berkah atau Kutukan?

23 November 2018   22:55 Diperbarui: 23 November 2018   23:01 922
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Dunia pascaera Perang Dingin diliputi berbagai isu keamanan baru, mulai terorisme hingga kejahatan siber dan teknologi informasi. Hal ini membuat banyak negara yang meningkatkan kontrol pada sektor pertahanan dan keamanannya. Pascaperistiwa 11 September 2001 yang menewaskan lebih dari 2.300 jiwa membuat isu terorisme semakin mengemuka: Ia menjadi musuh baru dunia dan harus diberantas dengan berbagai cara. 

Sejak hari itulah Amerika Serikat mengumpulkan sekutu-sekutunya, terutama yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Tujuan mereka satu: membabat habis terorisme hingga ke akar-akarnya.

Perkembangan isu keamanan diikuti dengan pengembangan teknologi kemiliteran. Semakin banyak persenjataan dan alutsista baru yang dikembangkan oleh banyak negara, tentunya dengan kemampuan tempur yang semakin canggih dan daya hancur yang masif, sekaligus menjadi 'mesin pembunuh' yang efektif. Seringkali senjata-senjata baru ini tampak futuristik, menggiurkan bagi negara-negara dengan anggaran militer selangit.

Salah satu alutsista baru yang menjadi kontroversi adalah senjata pembunuh otonom (Lethal Autonomous Weapons). Dikutip dari laman futureoflife.org, alat tempur ini dikembangkan oleh beberapa negara, seperti AS, Rusia, Tiongkok, Perancis, dan Inggris. Senjata pembunuh otonom dapat diartikan sebagai senjata dengan kemampuan mengidentifikasi, memilih, dan menyerang target-target tertentu dengan keterlibatan manusia secara minimal atau bahkan tanpa keterlibatan manusia sama sekali. 

Senjata ini dapat dioperasikan dalam berbagai situasi, baik dalam palagan pertempuran atau sekadar sebagai senjata pertahanan dalam negeri. Jenisnya pun cukup bervariasi, mulai dari pesawat tempur nirawak hingga robot tank dan sistem persenjataan maritim.

Secara garis besar, senjata pembunuh otonom dapat dibedakan dalam dua kategori, senjata pembunuh semiotonom dan senjata pembunuh otonom penuh. Yang dimaksud dengan 'semiotonom' adalah pengoperasian senjata tersebut masih melibatkan kontrol manusia, meskipun tidak secara penuh. Senjata tersebut dapat dikontrol dalam jarak tertentu, dengan sistem jarak jauh. 

Semua senjata pembunuh otonom yang dioperasikan dan dikembangkan hingga saat ini adalah semiotonom, karena dalam pengoperasian dan pemilihan objek yang menjadi target masih di bawah kendali manusia. Sementara itu, senjata pembunuh otonom penuh hingga saat ini belum dikembangkan.

Pengembangan alutsista ini menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, dari mulai praktisi militer, akademisi, diplomat, hingga organisasi nonpemerintah. Buntut dari perdebatan ini cukup panjang, bahkan hingga menjadi bahasan dalam berbagai forum internasional. 

Banyak negara yang menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap pengembangan alutsista baru ini, terutama negara-negara berkembang. Alasan utama mereka adalah bahwa senjata pembunuh otonom minim atau bahkan tidak melibatkan kendali manusia. Menurut mereka, seharusnya persenjataan tidak memiliki hak untuk menentukan nasib manusia, termasuk menentukan hidup dan mati. Hal ini berkaitan dengan pelaksanaan Hukum Humaniter Internasional.

Selain itu, pengembangan senjata ini dianggap menjadi pemicu terjadinya persaingan baru antarnegara dalam bidang militer dan keamanan, persis ketika era Perang Dingin. Negara-negara akan berkompetisi mengembangkannya dan dapat menggunakannya untuk saling menyerang. Tentu, hal ini akan mengancam negara-negara yang tidak memiliki atau tidak berniat untuk mengembangkannya, termasuk negara-negara berkembang yang memiliki anggaran militer cekak.  

Alasan lainnya adalah mengenai 'paradoks tanggung jawab', apabila senjata tersebut mengalami salah sasaran atau salah tembak, timbul kebingungan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab, apakah si prajurit pengendali, pihak perusahaan pengembangan, atau negara yang memilikinya. Tak pelak, banyak negara yang mengutuk senjata ini dan menolak pengembangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun