Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengubah Kebiasaan, Mungkinkah?

31 Desember 2020   23:05 Diperbarui: 31 Desember 2020   23:10 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seluruh hidup kita, sejauh memiliki bentuk yang pasti, hanyalah sekumpulan kebiasaan." -William James

Disadari atau tidak, kita tidak pernah terlepas dari yang namanya kebiasaan. Kebiasaan muncul dari aktivitas yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga dalam frekuensi tertentu akan menjadi perilaku otomatis. Apa yang kita lakukan sejak bangun tidur hingga tidur kembali, keputusan-keputusan yang kita ambil, cara kita mengorganisasi pemikiran sebagian besar dipengaruhi oleh kebiasaan.

Dalam bukunya The Power of Habit, Charles Duhigg menerangkan bahwa kebiasaan muncul karena otak terus menerus mencari cara untuk menghemat upaya. Naluri untuk menghemat kebiasaan memberi keuntungan besar, yakni menjadikan otak efisien. Otak yang efisien memungkinkan kita untuk berhenti terus menerus memikirkan perilaku yang mendasar, sehingga fokus kita bisa dialihkan untuk tugas-tugas lainnya. Ketika kebiasaan muncul, otak akan berhenti turut serta secara penuh dalam pengambilan keputusan.

Di awal tahun 1990-an, dilakukan penelitian terhadap kebiasaan oleh para peneliti MIT (Massachusetts Institutes of Technology). Para peneliti ini menemukan bahwa ganglia basal, yaitu sekumpulan sel berbentuk lonjong yang terdapat di otak sebelah dalam yang dekat dengan batang otak, adalah bagian yang menyimpan kebiasaan. Orang-orang yang ganglia basalnya rusak, entah oleh penyakit atau cedera seringkali lumpuh secara mental. Kerusakan ganglia basal menyebabkan seseorang dapat kehilangan kemampuan untuk mengabaikan rincian-rincian yang tidak begitu penting. 

Bagaimana Kebiasaan Bekerja?

1. Tanda

2. Rutinitas

3. Ganjaran

Dalam buku The Power Of Habit, Charles Duhigg menjelaskan tiga tahap yang terjadi pada proses di dalam otak. Tahap pertama adalah adanya tanda, yang merupakan sebuah pemicu dan memberitahu otak untuk masuk ke mode otomatis. Selanjutnya adalah rutinitas, yaitu berupa aktivitas fisik maupun mental yang dilakukan sebagai respon atas tanda yang muncul. Dan terakhir adalah ganjaran (reward) yaitu "pemberitahuan" kepada otak bahwa apakah aktivitas yang dilakukan patut dipertahankan untuk dilakukan kembali di masa depan. Semakin lama, tiga tahap ini akan menjadi semakin otomatis bekerja, dan pada akhirnya akan membentuk sebuah kebiasaan.

Kebiasaan dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Jika kita mengembangkan kebiasaan yang baik, tentu akan sangat berguna bagi kehidupan kita, seperti kebiasaan menggosok gigi sebelum tidur, atau jam tidur yang  diatur sedemikian rupa agar tercukupi. Aktivitas-aktivitas yang sudah tertanam dalam ganglia basal ini akan mengefisienkan otak kita dalam bekerja. 

Sebaliknya, kebiasaan buruk yang dikembangkan dapat menjadi bumerang terhadap diri sendiri. Contohnya saja kebiasaan merokok, ngemil tengah malam, atau jam tidur yang berantakan tentu akan turut berpengaruh terhadap diri kita, namun dalam konteks yang negatif. Seperti rokok yang merusak paru-paru, atau obesitas yang mengancam saat rajin ngemil tengah malam, hingga produktivitas yang menurun akibat jam tidur yang tidak teratur. 

Mengubah Kebiasaan, Mungkinkah?

Beberapa orang mungkin telah berjuang mati-matian untuk mengubah kebiasaan buruk yang dimiliki. Alih-alih memberi faedah, kebiasaan buruk justru merugikan diri sendiri. Bagaimanapun, kesenangan terhadap kebiasaan buruk mungkin ada (seperti sensasi nikotin yang menyenangkan saat mengisap rokok), namun perlu diketahui bahwa kesenangan tersebut sifatnya semu. Jika sudah kecanduan, tubuh akan mulai menuntut terus menerus dengan dosis yang perlahan-lahan meningkat. Cepat atau lambat, kebiasaan ini tentu akan membawa dampak buruk terhadap diri sendiri, salah satunya kesehatan diri yang menurun. 

Namun jangan khawatir, karena kebiasaan, termasuk kebiasaan buruk, nyatanya bisa diubah. Kebiasaan bisa diubah dengan mudah ketika sudah paham bagaimana kebiasaan tersebut bekerja.

Masih ingat dengan pola tanda-aktivitas-ganjaran tentang bagaimana kebiasaan bekerja di atas? Ya, dengan memahami pola tersebut, maka kita bisa lebih mudah untuk mengubah kebiasaan. Sebuah kisah unik diceritakan Charles Duhigg dalam bukunya. 

Alkisah di tahun 1900-an, seorang eksekutif di Amerika yang bernama Hopkins ditawari oleh teman lamanya untuk memasarkan sebuah produk inovasi baru, yaitu produk pasta gigi. Menurut temannya, produk ini akan laris di pasar, sejalan dengan fakta bahwa kesehatan gigi orang Amerika sedang menurun tajam saat itu. Perekonomian yang meningkat membuat masyarakat mulai banyak membeli dan mengonsumsi gula yang berlebihan. Hingga saat pemerintah mulai menarik masyarakat untuk ikut Perang Dunia I, hasilnya begitu banyak orang-orang yang direkrut ini bergigi busuk. Pejabat kemudian mengungkapkan bahwa buruknya kesehatan gigi merupakan risiko keamanan nasional.

Terhadap tawaran tersebut, Hopkins masih tidak cukup yakin, karena sebelumnya sudah banyak penjual keliling dari rumah ke rumah yang menawarkan berbagai bubuk dan ramuan yang tidak laris dibeli dan justru berakhir bangkrut. Masalahnya adalah, kata Duhigg, nyaris tidak ada yang membeli pasta gigi karena, terlepas dari masalah-masalah gigi di Amerika Serikat, nyaris tidak ada yang menggosok gigi. Inilah pokok persoalannya. 

Mereka kemudian memikirkan cara untuk mengubah kebiasaan buruk masyarakat yang tidak menggosok gigi tersebut, yang pada akhirnya bisa turut berpengaruh pada penjualan pasta gigi mereka. 

Dengan memanfaatkan pola tanda-aktivitas-ganjaran, dikembangkanlah sebuah ide untuk memberi sensasi baru saat menggunakan pasta gigi tersebut. Mereka menambahkan zat-zat kimia dan minyak mint dalam jumlah tertentu untuk memberi rasa segar dan sensasi sajuk di dalam mulut. Jika tidak ada bahan ini, sebenarnya tidak mengapa. Pasta gigi tersebut masih berguna untuk membersihkan gigi mereka. Namun disinilah letak kejeniusan mereka dalam mengubah kebiasaan masyarakat. Mereka menjual "sensasi" yang timbul saat menggunakan pasta gigi tersebut. 

Ketika mereka mulai merasa gigi mereka kotor (tanda), dengan segera akan timbul perasaan "mengidam" terhadap sensasi sejuk yang dihasilkan dari pasta gigi. Dengan ini mereka akan menggosok gigi (rutinitas) dan berakhir dengan rasa puas karena perasaan sejuk yang timbul di dalam mulut (ganjaran). Dengan segera produk pasta gigi ini menjadi laris di pasaran. Orang-orang terkemuka dengan bangga mulai memamerkan gigi mereka setelah menggunakan produk tersebut dan dengan cepat mempengaruhi kebiasaan masyarakat untuk menggosok gigi. 

Kisah di atas menjelaskan bagaimana perubahan (bahkan secara massal) bisa terjadi terhadap diri seseorang. Sensasi yang timbul dari penggunaan pasta gigi tidak membuat pasta gigi tersebut bekerja lebih baik, tapi hanya memberi keyakinan kepada penggunanya bahwa pasta gigi tersebut bekerja. Hopkins berhasil mengubah kebiasaan dengan memanfaatkan pola tadi, yaitu tanda-rutinitas-ganjaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun