Baru-baru ini, saya membaca sebuah artikel menarik di Kompasiana yang berjudul "Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah" karya Study Rizal L. Kontu, diterbitkan pada 13 September 2025. Isinya cukup menggugah, membahas bagaimana demonstrasi di Nepal yang awalnya dipicu oleh larangan media sosial, berubah menjadi tragedi berdarah. Di sini, saya mencoba merangkum sekaligus menganalisis artikel tersebut, sambil menarik pelajaran penting, terutama bagi kita di Indonesia.
Ringkasan Singkat Berita
Artikel ini menceritakan bagaimana Nepal dilanda gelombang protes besar di Kathmandu dan sekitarnya. Awalnya, pemerintah Nepal melarang beberapa platform media sosial, mungkin karena khawatir dengan konten yang bisa memicu instabilitas. Namun, larangan ini justru meledakkan amarah rakyat.
Ribuan orang turun ke jalan menuntut kebebasan berekspresi, sekaligus menyuarakan masalah yang lebih dalam: korupsi merajalela, nepotisme yang menutup kesempatan kerja, dan ketidakadilan sosial yang semakin parah.
Sayangnya, pemerintah merespons dengan represif: gas air mata, peluru karet, hingga senjata api yang menewaskan belasan orang. Larangan media sosial akhirnya dicabut, tapi sudah terlambat—trauma dan luka sosial terlanjur menganga. Seperti yang dikatakan penulis, ini bukan sekadar soal media sosial, melainkan kegagalan komunikasi antara negara dan rakyat.
Mengapa Ini Terjadi dan Apa Artinya?
Nepal memang memiliki sejarah politik yang rumit. Dari monarki absolut, lalu transisi ke republik pada 2008 setelah perang saudara panjang dengan pemberontak Maois. Sejak itu, demokrasi di sana berjalan terseok-seok: pemerintahan sering berganti, koalisi rapuh, dan korupsi menjadi bagian sehari-hari.
Larangan media sosial hanyalah pemicu, bukan akar masalah. Media sosial di Nepal, sebagaimana di banyak negara berkembang, menjadi ruang alternatif bagi rakyat yang merasa suaranya tak didengar. Pemerintah yang takut kritik justru memperparah keadaan dengan represi. Seperti yang disebut penulis, ironi terbesar dari kasus ini adalah “komunikasi berubah menjadi represi.”
Lebih luas lagi, ini punya implikasi regional. Nepal berada di antara India dan China, dua kekuatan besar dengan pengaruh politik yang signifikan. Ketidakstabilan di Nepal bisa berdampak lebih luas, apalagi jika ada intervensi luar. Untuk Asia Selatan, pelajaran yang jelas adalah: demokrasi bukan hanya soal pemilu rutin, melainkan budaya dialog terbuka.
Bagi Indonesia, kasus Nepal ini menjadi pengingat. Kita pernah mengalami hal serupa pada Reformasi 1998. Kini, meskipun lebih stabil, masalah korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan sosial masih menghantui. Media sosial di Indonesia juga sering jadi ruang kritik, namun respons pemerintah terkadang malah berupa pelabelan hoax atau upaya pembatasan.
Salut Untuk Generasi Muda Nepal.
Ada satu hal yang menurut saya sangat menarik dari peristiwa ini: peran generasi muda Nepal, terutama Gen Z. Saat negara dalam kondisi darurat militer dan kacau, anak-anak muda di Nepal justru mengambil langkah mengejutkan: mereka menggunakan Discord sebagai ruang diskusi untuk memilih pemimpin sementara.
Bagi saya, ini bukti kecerdasan politik dan keberanian generasi muda Nepal. Mereka tidak hanya berani turun ke jalan, tetapi juga mampu mencari solusi alternatif dengan teknologi digital. Dunia dikejutkan karena di tengah represi, justru muncul kreativitas politik dari generasi muda. Ini pelajaran penting bagi kita: bahwa demokrasi sejati lahir dari partisipasi rakyat, khususnya kaum muda yang melek teknologi dan peduli masa depan bangsanya.
Apa yang Bisa Dilakukan?
1. Bagi Pemerintah Nepal (dan serupa): jangan tunggu darah tumpah baru mencabut kebijakan. Bangun mekanisme dialog rutin, perkuat transparansi, hukum pejabat yang korup, dan berikan keadilan bagi korban represi.
2. Bagi Aktivis dan Masyarakat: gunakan media sosial secara cerdas untuk membangun narasi positif. Perkuat kolaborasi dengan lembaga internasional, dan tingkatkan edukasi demokrasi agar protes tidak mudah dimanipulasi.
3. Bagi Indonesia: belajar dari Nepal. Dorong pemerintah lebih terbuka terhadap kritik, dorong partai politik untuk mengurangi nepotisme, dan jadikan suara rakyat sebagai fondasi, bukan ancaman.
Kasus Nepal menunjukkan satu hal penting: demokrasi bukan sekadar sistem, melainkan budaya mendengar dan berdialog. Ketika negara menutup telinga, rakyat akan bersuara dengan cara lain, bahkan dengan darah. Namun, dari tragedi ini kita juga belajar, bahwa generasi muda punya peran besar dalam menjaga dan memperbaiki demokrasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI