Mohon tunggu...
Meirri Alfianto
Meirri Alfianto Mohon Tunggu... Insinyur - Seorang Ayah yang memaknai hidup adalah kesempatan untuk berbagi

Ajining diri dumunung aneng lathi (kualitas diri seseorang tercermin melalui ucapannya). Saya orang teknik yang cinta dengan dunia literasi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tak Ada Kawan atau Lawan Abadi, yang Abadi Hanyalah Kepentingan

28 Januari 2021   07:51 Diperbarui: 30 Januari 2021   11:05 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bisnis. Gambar: Pixabay| free-photos

Pernahkah Anda terpikir bahwa dua perusahaan yang sedang bersaing sengit memperebutkan pasar sebenarnya bekerja sama?

Atau pernahkah Anda mendengar dua brand/merk terkenal dengan produk yang sama ternyata menjalin kesepakatan-kesepakatan tertentu yang saling menguntungkan?

Contoh yang baru terjadi beberapa waktu lalu diberitakan dua penyedia layanan transportasi daring yang bersaing ketat dalam bisnis transportasi online di tanah air dikabarkan merger. Meskipun kemudian berita itu hilang dan merger urung terwujud. 

Namun apakah rencana tersebut menguap begitu saja? Nanti dulu. Salah kalau kita berpikir demikian. Dua perusahaan start up terbesar dengan warna kebesaran hijau tersebut hanya belum selesai saja perundingannya. Jangan kaget nanti bila tiba-tiba ada pengumuman merger.

Oke, tak perlu jauh-jauh. Itu tadi satu contoh yang besar. Masih ada contoh-contoh besar lainnya yang mungkin anda sendiri juga tahu. Saya bawa anda sejenak ke tempat kerja. Ada satu perusahaan (saya sebut PT X). PT X ini didirikan oleh beberapa eks petinggi di perusahaan tempat saya bekerja. 

Mereka mendirikan PT X lantaran kecewa dengan para petinggi lainnya. Intinya pernah ada masalah di kalangan para pemegang saham. 

Perusahaan X adalah perusahaan yang bergerak di bidang yang sama dengan kami. Produk yang dijual pun sama. Pelanggannya pun sebagian besar juga sama. Dengan kata lain, PT X merupakan kompetitor dari perusahaan tempat saya bekerja karena mereka memiliki segmentasi pasar yang sama. 

Suatu saat, PT X memberikan order kepada perusahaan kami. PT X memesan suatu produk karena mesin-mesin yang mereka punya belum cukup mampu mengerjakan produk tersebut. Memang produk itu adalah produk pesanan khusus yang belum banyak pabrik bisa membuatnya. 

Ketika mendapatkan orderan dari perusahaan X, bagaimana sikap manajemen kami? Menolak? Tidak. Mereka menerimanya dengan hangat meskipun PT X sebenarnya adalah kompetitor dan manajemen kedua perusahaan sempat tidak akur.

Nah menurut Anda, mengapa pesanan tersebut diterima? Bukankah PT X bisa saja memplagiat produk lalu mengembangkannya sendiri? Hmmm.. bisa jadi. Tapi risiko itu masih dapat dicegah.

Atau mungkin Anda berpikir, "itu karena mereka dulu kan berteman dan pernah menjadi partner. Makanya order tetap diterima." Inipun bisa juga. Tetapi bukan itu alasan utamanya. 

Menerima pesanan itu akan membawa potensi order yang lebih besar. Selain itu sebagai jembatan kami untuk masuk ke kolam bisnis yang lebih besar. Itulah hakikat bisnis. Tak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.

Kayak politik ya! Iya memang terkadang bisnis itu seperti politik. Penuh intrik sehingga perlu intuisi yang tajam. Seperti perang. Strategi harus dimainkan dengan cermat. Jauh-jauh deh sama yang namanya dendam. Tiada guna mendendam karena suatu saat kita bisa menjadi relasi bisnis yang saling membutuhkan.

Saya akan bukakan lagi sebuah fakta. Bos-bos dari perusahaan yang saling berkompetisi apakah mereka bermusuhan? Mereka yang dipermukaan terlihat saling sikut-menyikut untuk mendapatkan omzet, tetapi di belakang siapa yang menyangka bahwa mereka berteman? Main golf bareng, makan bareng, nge-bir dan pergi keluar negeri sama-sama. Apalagi jika mereka tergabung dalam sebuah asosiasi pengusaha. 

Kita sebagai pegawai hanya tahu bahwa kita sedang berkompetisi sengit dengan perusahaan kompetitor. Kadang-kadang para manajer dari kedua perusahaan terlibat saling sindir dan nyinyir. Tujuannya untuk menjatuhkan bisnis satu sama lain. Eh lha kok ternyata CEO nya karaokean bareng.

Aneh? Enggak. Itulah yang banyak terjadi. Itulah bisnis. Bisnis itu tidak lempeng begitu saja. Kalau tidak suka ya nggak mau. Tidak bisa seperti itu kalau ingin sukses. 

Seorang pegawai yang resign lalu pindah ke kompetitor walaupun sudah sembunyi-sembunyi jangan harap tidak ketahuan. Dalam etika kerja, pindah ke kompetitor itu seringnya masih dianggap tabu bukan?

Saya ingat kawan saya pernah dibilang anjing oleh mantan bos saya gara-gara pindah ke kompetitor.  Waktu itu saya heran, kok bos bisa tahu kalau kawan saya ini pindah ke kompetitor. Padahal teman kantor pun tidak tahu. Hanya segelintir teman dekat saja yang diberi tahu.

Ia betul-betul pindah secara diam-diam, ngakunya ke bos resign karena mau pulang kampung. Saya baru paham beberapa waktu mendatang, ternyata karena antar bos itu saling berkomunikasi bertukar informasi.

Berbisnis dengan teman itu memang berisiko. Kalau sudah berhubungan dengan uang, bisa membuat hubungan pertemanan menjadi renggang. Apalagi jika tidak ada rasa saling percaya. Namun sesungguhnya tidak ada bisnis yang tanpa risiko. 

Tidak ada yang kawan atau lawan yang abadi dalam bisnis, yang abadi hanyalah kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun