Hujan turun sejak pagi, membasahi setiap sudut kota kecil itu. Di bawah payung hitam yang mulai bocor di ujungnya, Rara melangkah pelan menuju kafe tempat biasa ia menunggu. Jalanan sepi, hanya terdengar suara air menetes dari atap rumah dan deru kendaraan yang sesekali lewat. Januari hampir berakhir, tapi dinginnya masih sama—seperti kenangan yang enggan pergi.
Sudah tiga tahun berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Dimas, dengan senyum yang tenang dan tatapan yang selalu hangat, pernah berjanji akan kembali. “Tunggu aku sampai hujan terakhir di Januari,” katanya waktu itu, sambil menggenggam tangan Rara di bawah payung yang sama. Rara tidak tahu apa maksudnya, tapi ia menunggu—tahun demi tahun, setiap kali hujan turun di ujung Januari.
Kafe itu masih sama. Kursi kayu di dekat jendela, aroma kopi yang menenangkan, dan suara musik lembut yang mengisi ruang. Rara duduk di tempat biasa, menatap luar jendela. Orang-orang berlalu dalam terburu, menunduk di bawah payung mereka, tapi tak ada satu pun yang mirip Dimas. Ia menarik napas panjang, menyesap kopinya yang mulai dingin.
“Masih menunggu seseorang?” tanya pelayan kafe, senyum kecil di wajahnya. Rara hanya membalas dengan anggukan samar.
“Sudah tiga tahun, ya?” lanjut pelayan itu, seolah tahu jawabannya.
Rara tersenyum tipis. “Mungkin tahun ini hujan terakhirnya datang.”
Langit makin kelabu. Petir menggelegar, lalu hujan turun lebih deras. Rara menatap tetesan air yang berlomba di kaca jendela, dan entah kenapa, dadanya terasa sesak. Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan secarik surat yang sudah mulai kusam. Surat dari Dimas—yang terakhir dikirim sebelum ia berangkat ke luar negeri untuk bertugas sebagai relawan medis.
“Kalau suatu hari aku tak bisa kembali, jangan tangisi aku di bawah hujan. Tapi tetaplah duduk di tempat biasa, agar aku tahu kamu baik-baik saja.”
Air mata Rara jatuh, bercampur dengan sisa hujan di pipinya. Ia tahu, Dimas tak pernah benar-benar kembali. Setahun lalu, ia mendapat kabar bahwa Dimas meninggal dalam bencana di negeri jauh itu. Tapi setiap kali hujan turun di akhir Januari, ia tetap datang. Bukan karena janji, tapi karena rasa rindu yang belum sempat ia lepaskan.
Ketika Rara hendak pulang, seorang anak kecil berlari masuk ke kafe, membawa seikat bunga lili putih yang basah oleh hujan. “Ini untuk Kak Rara,” katanya polos. “Seorang lelaki menitipkannya di luar sebelum hujan deras. Katanya, berikan bunga ini kalau Kak Rara datang.”
Rara terdiam. Di antara tangkainya, terselip selembar kertas kecil bertuliskan:
“Terima kasih sudah menunggu. Sekarang, pulanglah. Aku sudah tenang.”
Hujan masih turun. Tapi kali ini, Rara tersenyum. Ia melangkah keluar, menatap langit yang perlahan cerah. Januari hampir berakhir, dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar siap melepaskan.