Mohon tunggu...
Alfian Wahyu Nugroho
Alfian Wahyu Nugroho Mohon Tunggu... Penulis Artikel

Selamat membaca beragam tulisan yang menganalisis berbagai fenomena dengan teori-teori sosiologi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Enklave dan Gentrifikasi dalam Kajian Sosiologi Perkotaan

26 Mei 2025   15:21 Diperbarui: 27 Mei 2025   18:37 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Akuarium (Sumber: https://megapolitan.kompas.com/read/2021/08/18/07115401/tak-seperti-rusun-lain-kampung-susun-akuarium-dikelola-oleh-warga)

Dalam mempelajari kajian sosiologi perkotaan, kita akan menemukan istilah enklave dan gentrifikasi. Belajar sosiologi perkotaan berarti menyelami bagaimana ruang hidup bukan sekadar tempat tinggal, melainkan arena relasi kuasa, ketimpangan, dan pertarungan identitas. Kota tidak tumbuh dalam kehampaan, ia selalu dibentuk oleh siapa yang punya kuasa atas tanah, modal, dan narasi pembangunan. Pertumbuhan ekonomi, ledakan populasi urban, serta ekspansi infrastruktur menciptakan wajah kota yang semakin modern. Namun, kemajuan itu tidak datang secara merata. Kita ambil contoh Jakarta, di satu sisi berdiri kompleks apartemen mewah seperti District 8 di SCBD, town house eksklusif di Kemang, hingga klaster elite dengan penjagaan ketat di BSD atau Pantai Indah Kapuk. Di sisi lain, kampung-kampung padat seperti Kampung Pulo, Tanah Abang, atau Kalideres terus terancam tergusur oleh proyek normalisasi sungai, pelebaran jalan, atau revitalisasi kawasan. Hal serupa terjadi di Bandung yang memprioritaskan kawasan Braga dan Dago untuk wisata, tapi melupakan kampung-kampung tua di sekitarnya. Di Bali, gentrifikasi menjalar lewat pembangunan vila dan beach club yang mengubah sawah dan desa adat menjadi properti investasi asing. Kota memang berkembang pesat, tapi siapa yang benar-benar ikut serta di dalamnya.

Di balik pembangunan fisik, kota menyimpan ketegangan sosial yang dalam. Kelas menengah dan elite bisa memilih tinggal di ruang yang steril, tertata, dan terjaga, sementara kelas pekerja dan masyarakat miskin urban harus bertahan di pinggiran, dalam ruang yang sempit dan rentan digusur. Sehingga, kota bukan hanya lanskap arsitektur, tapi juga medan konflik kelas, politik ruang, dan eksklusi sosial yang kian sistematis. Kita menyaksikan bagaimana ruang publik terprivatisasi, dan bagaimana tempat tinggal berubah menjadi komoditas investasi yang diperebutkan. Dalam konteks inilah, dua konsep penting muncul dalam kajian sosiologi perkotaan kontemporer, yaitu konsep enklave dan gentrifikasi. Keduanya merupakan wajah dari segregasi (ide pemisahan kelompok sosial tertentu dalam ruang masyarakat) yang dibungkus oleh narasi modernitas, keamanan, estetika, kenyamanan, dan efisiensi. Enklave menciptakan ruang tertutup bagi kelas atas di tengah kota, sementara gentrifikasi secara perlahan menggusur kelas bawah dari ruang yang dulu mereka huni. Keduanya menunjukkan bahwa kota bukanlah ruang netralm, melainkan cerminan dari struktur sosial yang menindas secara halus. Dan justru karena itu, memahami dinamika ini adalah langkah awal untuk membayangkan kota yang lebih adil. Tulisan ini saya buat membantu untuk memahami konsep tersebut dalam studi sosiologi, khususnya kajian sosiologi perkotaan.

Enklave Menjadi Dinding Pemisah 

Dalam kajian sosiologi perkotaan, istilah enklave merujuk pada kawasan terpisah yang secara fisik maupun simbolik menandai pemisahan kelompok sosial tertentu dari lingkungan sekitarnya. Ada beberapa pendapat para sosiolog yang menyinggunh konsep enklave, diantaranya,

  • Saskia Sassen (2005) menyoroti bagaimana globalisasi urban menciptakan ruang-ruang eksklusif dalam kota-kota besar yang menjadi pusat akumulasi kapital, tetapi tertutup dari kehidupan lokal. 
  • Teresa Caldeira (2000) dalam City of Walls menggambarkan bagaimana kota-kota seperti So Paulo atau Jakarta berubah menjadi fragmentasi ruang yang dikontrol oleh rezim keamanan dan konsumsi, menciptakan kota dengan "dinding sosial" yang tidak kasat mata namun sangat nyata. 

Saskia Sassen & Teresa Calderia (Sumber: Kolase pribadi)
Saskia Sassen & Teresa Calderia (Sumber: Kolase pribadi)

Dalam geografi sosial, enklave dipahami sebagai segregasi spasial yang memperkuat ketimpangan sosial ekonomi melalui desain ruang. Enklave tidak hanya sekadar perumahan elite yang berpagar tinggi. Ia punya ciri khas akses terbatas hanya untuk penghuni atau tamu undangan, kehadiran keamanan 24 jam, fasilitas mandiri seperti pusat kebugaran, sekolah internasional, hingga mall dalam satu kawasan. Kawasan ini cenderung steril dari interaksi sosial dengan warga sekitar. Bahkan, banyak enklave didesain agar penghuninya tidak perlu berinteraksi sama sekali dengan ruang publik kota. Akses masuk dijaga ketat, lingkungan dijaga homogen secara sosial dan budaya, serta ada sistem ekonomi dan konsumsi tersendiri yang melayani kebutuhan warga di dalamnya. Fenomena enklave pada akhirnya melahirkan "dua kota" dalam satu kota. Kota yang satu modern, tertata, steril, dan penuh ilusi keamanan. Kota yang lainnya, berada di luar "tembok", adalah kota yang gaduh, padat, dan ditandai oleh ketidakpastian. Di Jakarta misalnya, kita bisa melihat kontras mencolok antara Mega Kuningan dengan Kampung Guntur, antara Kemang Village dengan pemukiman padat di Mampang. Kawasan seperti Menteng atau Kebayoran Baru semakin tertutup, sementara kampung-kampung kota terus terdesak oleh tekanan pembangunan dan nilai properti yang naik drastis. Enklave menjadi metafora fisik dari ketimpangan struktural ruang menjadi milik mereka yang mampu membayar harga eksklusivitas dan keamanan. Enklave juga memperlemah rasa kebersamaan kota. Kota kehilangan karakter sebagai ruang bersama (commons) dan berubah menjadi mosaik ruang-ruang eksklusif. Dalam jangka panjang, fenomena ini memperkuat polarisasi kelas, memperlemah solidaritas sosial, serta menciptakan ketegangan antara warga kota yang "di dalam tembok" dan yang "di luar tembok." Enklave menjadi representasi dari bagaimana kapitalisme urban mengatur siapa yang berhak merasa aman, nyaman, dan punya kontrol atas ruang hidup di kota. Ia adalah ekspresi spasial dari ketidakadilan sosial yang kian normal.

Gentrifikasi sebagai Kekerasan Simbolik dalam Modernisasi 

Gentrifikasi adalah sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Inggris Ruth Glass (1912) pada 1964. Ia menggambarkan proses ketika kelas menengah pindah ke kawasan urban yang sebelumnya dihuni kelas pekerja, lalu mengubah karakter kawasan tersebut secara drastis. Neil Smith (1954) kemudian memperdalam kajian ini dalam pendekatan rent gap theory gentrifikasi terjadi ketika nilai tanah atau bangunan berada di bawah potensi maksimalnya, dan lalu dimanfaatkan oleh investor untuk mendapatkan keuntungan besar. Dengan kata lain, gentrifikasi adalah transformasi demografis dan ekonomi yang terjadi ketika ruang kota mengalami invasi kapital dari atas, yang merubah bukan hanya wujud fisiknya, tapi juga siapa yang berhak tinggal di sana. Di Indonesia, proses gentrifikasi sering dikemas dalam narasi "revitalisasi", "penataan kawasan", atau "peningkatan nilai ekonomi kota". Misalnya, revitalisasi Kali Besar di Kota Tua Jakarta, penataan Kampung Akuarium menjadi hunian vertikal yang sempat menggusur warga, atau gentrifikasi diam-diam di Bali yang menyebabkan warga lokal sulit bersaing dengan harga properti turistik. Modernisasi ruang publik dan estetika kota sering menjadi tameng untuk menyingkirkan kelompok marjinal secara perlahan, melalui kenaikan harga sewa, pajak, dan biaya hidup yang membuat warga lama terpaksa pindah.

Ruth Glass & Neil Smith (Sumber: Kolase pribadi)
Ruth Glass & Neil Smith (Sumber: Kolase pribadi)

Secara sosiologis, gentrifikasi bukan hanya penggusuran fisik, tetapi juga penggusuran kultural dan simbolik. Rumah yang dulu menjadi tempat tinggal antar generasi kini menjadi komoditas di pasar properti. Pergeseran makna "rumah" dari hak hidup menjadi instrumen investasi menandai perubahan nilai-nilai kota dari solidaritas menjadi kompetisi. Kawasan yang dulunya ramai dengan interaksi sosial warga lokal perlahan berubah menjadi lingkungan steril yang dipenuhi kafe hipster, co-working space, dan apartemen modern. Hal ini menciptakan alienasi, terutama bagi generasi muda dari keluarga kelas pekerja yang tak lagi bisa hidup di lingkungan tempat mereka dibesarkan. Gentrifikasi juga menyebabkan kehilangan sense of belonging. Di banyak kota, warga asli merasa terasing di ruang yang secara historis adalah milik mereka. Di Bali, gentrifikasi tak hanya mengubah harga tanah, tetapi juga menciptakan krisis identitas budaya dan ekologis. Di Jakarta, pembangunan masif di kawasan Menteng, Tebet, dan Kemang, mendorong keluar banyak penyewa lama karena lonjakan harga. Fenomena ini menunjukkan bahwa kota bukan hanya medan infrastruktur, tapi juga arena perebutan ruang antar kelas. Dalam perspektif yang lebih luas, gentrifikasi adalah bentuk baru kolonialisme ruang, ruang kota yang semula dihuni oleh kelas bawah atau komunitas etnis tertentu secara perlahan dikuasai oleh kapital. Modernisasi menjadi narasi hegemonik yang menyembunyikan eksklusi sosial. Ironisnya, pembangunan kota yang katanya inklusif justru melahirkan bentuk-bentuk pengasingan baru yang lebih halus namun tak kalah menyakitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun